Company

Alquran Sebagai Wahyu dan Data Sejarah

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

03/07/2006

Saya kira, kita perlu membuat pembedaan antara Alquran sebagai wahyu di satu pihak, dan Alquran sebagai data sejarah di pihak lain.

Alquran sebagai wahyu adalah bagian dari keyakinan umat Islam yang tidak bisa diinterogasi secara �ilmiah�. Seorang muslim beriman bahwa Alquran, dengan satu cara: karena diwahyukan oleh Allah. Pada level ini, tampaknya kita relevan memakai perspektif �fideistis� yang dikemukakan oleh Soren Kierkegaard, filsuf Denmark, yang mengatakan bahwa iman adalah suatu �lompatan�. Kita berani �melompat� tanpa didukung oleh bukti-bukti �ilmiah� dan lalu menyimpulkan bahwa benar adanya kitab kami diwahyukan oleh Allah.

Level berikutnya adalah Alquran sebagai data sejarah, yakni sebagai teks yang secara historis berada di tegah-tengah umat Islam. Ia menjadi sumber, fondasi, dan ilham bagi norma dan aturan-aturan yang mengatur kehidupan umat Islam. Pada level inilah, Alquran bisa diinterogasi secara ilmiah, dianalisa, diinterpretasikan, dan seterusnya.

Kedua level itu selayaknya tidak dicampuradukkan. Interogasi �ilmiah� atas Alquran sudah selayaknya ditempatkan pada wilayah kajian ilmiah, dan tidak selayaknya dipandang sebagai �pelecehan� pada iman. Pengkajian ilmiah atas Alquran juga tidak selayaknya dianggap sebagai usaha untuk memudarkan iman. Seorang muslim bisa tetap bertahan sebagai seorang beriman yang baik, tetapi pada saat yang sama melakukan interogasi dan pengkajian ilmiah atas Alquran.

Kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh melalui pengkajian ilmiah bersifat relatif, karena merupakan hasil dari kerja akal manusia yang terbatas. Ia mengandaikan sejumlah asumsi, dan dengan demikian bersifat kondisional dan provisional. Kesimpulan-kesimpulan yang ditarik dari sana pun bisa dikoreksi oleh penelitian berikutnya. Sementara iman bersifat sebaliknya. Ia bersifat mutlak dan tidak bisa diganggu-gugat. Iman adalah unconditional submission (kepatuhan tanpa syarat).

Iman masuk dalam kajian yang secara longgar disebut sebagai �teologi�, sementara kajian atas agama dan kitab suci agama sebagai data sejarah masuk dalam wilayah yang disebut sebagai kajian agama (religious studies). Lahirnya disiplin �kajian agama� mengubah secara signifikan dan radikal cara pandang modern atas agama. (Untuk ini, ada tiga bahan bacaan penting yang layak dirujuk: Robert Cumming Neville, Religion in Late Modernity, Talal Asad, Genealogies of Religion, dan yang terpenting Tomoko Mauzawa, The Invention of World Religion). Agama, dalam kajian modern, tidak melulu dipandang sebagai sekumpulan dogma yang harus diimani, tetapi juga bisa dilihat sebagai fakta sosial sebagaimana fakta-fakta yang lain.

Sebetulnya, perkembangan semacam ini sudah ada benih-benihnya dalam tradisi Islam klasik. Kita mengenal kajian atas Islam sebagai �doktrin dan keimanan�, sebagaimana kita lihat dalam ilmu-ilmu tradisional: tafsir, hadis, kalam, tasawwuf, falsafah, dan sebagainya Tetapi, kita juga melihat kajian agama sebagai fakta sosial, meskipun kurang begitu berkembang dengan baik dalam sejarah intelektual klasik Islam. Kajian semacam itu bisa kita lihat dalam karya penting Al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, misalnya. Al-Syahrastani bisa disebut sebagai perintis religious studies dalam Islam. Sayang sekali, kajian semacam ini kurang berkembang dengan baik di dunia Islam saat ini.

Ada perbedaan yang signifikan antara teologi dan religious studies. Yang pertama hendak menegaskan doktrin agama, sedangkan yang kedua hendak menyelidiki agama sebagai fakta sosial tanpa dibebani oleh iman atau tugas untuk mengkonfirmasi ajaran agama. Kesimpulan-kesimpulan yang muncul dalam religious studies bisa, dan bahkan kerap, berseberangan dengan kepercayaan dalam agama bersangkutan, meski tidak selalu demikian.

Perkembangan semacam ini kadang-kadang tidak diantisipasi oleh umat Islam, sehingga menimbulkan sikap-sikap reaksioner yang berlebihan. Misalnya saja pada kasus Dr. Nasr Hamid Abu Zaid, ilmuwan yang melakukan �interogasi ilmiah� atas Alquran. Ia dituduh �kafir� karena kegiatan ilmiahnya itu. Saya melihat, kasus pengkafiran Abu Zaid paralel dengan sikap Gereja Vatikan yang memberangus pemikiran para perintis sains modern seperti Galileo pada zaman lampau. Wallahu a�lam

Tags: artikel


Pendidikan dan Latihan

PENDIDIKAN ISLAM EMANSIPATORIS

JIE-P3M JAKARTA 2004-2006

I.LATAR BELAKANG

Islam Emansipatoris adalah sebuah tawaran paradigma keberagamaan yang menjadikan pencarian solusi atas problem kemanusiaan dalam kehidupan riil sebagai komitmen utama agama. Tafsir Emansipatoris dengan demikian tidak berawal dari dan berakhir pada teks, melainkan berangkat dari dan kembali pada realitas. Teks suci dalam hal ini berfungsi sebagai sinaran dalam mengatasi problem kemanusiaan. Inilah perbedaan mendasar paradigma Islam Emansipatoris dari paradigma hegemonik tekstualis di mana realitas tunduk sepenuhnya pada titah teks. Segala persoalan dikembalikan pada teks, baik secara harfiyah maupun kontekstual. Teks dalam hal ini menjadi sumbu yang sangat menentukan kesadaran muslim.

Paradigma tekstualis merupakan mainstream pemikiran Islam. Asumsi dasar dari paradigma ini adalah bahwasanya teks suci mampu mengatasi segala persoalan yang dihadapi manusia kapan saja dan di mana saja. Asumsi ini melupakan sama sekali keterkaitan teks suci dengan perubahan yang terus terjadi sepanjang masa turunnya. Oleh karena itu, jika ditilik lebih lanjut, teks suci sesungguhnya tidak menganut sistem nilai tunggal sehingga tidak bisa dijadikan acuan bersama secara serentak. Hal ini ditunjukkan oleh munculnya konsep naskh dan takhsis di mana sebagian ayat mesti diprioritaskan atas sebagian yang lain. Secara tidak langsung, konsep ini sesungguhnya meyakini adanya kontradiksi internal teks.

Pada umumnya cendikiawan muslim modern menolak keyakinan terselubung ini. Setiap ayat mempunyai bingkai sejarah sendiri-sendiri, sehingga jika tidak dilepaskan dari konteksnya, kontradiksi antar ayat dapat dihindari. Petunjuk teks dalam hal ini tidak diproduksi secara instant, melainkan melalui dialektika antara teks dengan konteksnya. Sayang sekali, informasi mengenai konteks ayat-ayat ini sangat minim dan menyimpan problem besar perihal validitas. Oleh karena itu, keterikatan secara kontekstual terhadap teks sesungguhnya juga menyimpan subyektifitas sangat tinggi.

Dalam paradigma tekstualis, tafsir yang sejatinya merupakan dialektika antara teks, penafsir dan realitas hanya dipahami sebagai pemahaman atas kehendak Tuhan, untuk selanjutnya diterapkan pada realitas. Penafsir maupun realitas riil di mana dia berada sama sekali tidak hadir dalam siklus pemahaman Islam. Paradigma tekstualis dengan demikian tidak hanya menafikan realitas seputar turunnya ayat, melainkan juga realitas di mana mufasir berada. Akibatnya adalah teks suci ada dalam satu lembah, dan problem kemanusiaan yang dihadapi penafsir ada di lembah lainnya.

Fenomena lain yang juga memprihatinkan adalah masyarakat muslim pada umumnya memilih untuk bergaul dengan kitab suci secara pragmatis dengan mengikuti tafsir para elit agamawan. Ini sangat berbahaya karena teks al-Qur’an sejatinya tidak bisa dijadikan acuan secara keseluruhan dalam waktu bersamaan atau serentak, sehingga penafsir (elit agama) dapat memilih ayat menurut kecenderungan masing-masing. Di samping itu, teks suci selalu ditafsirkan kembali sehingga peluang untuk membelokkan makna teks dari spirit awalnya sangat terbuka. Paradigma tekstualis seringkali menyimpan kepentingan status quo penguasa tradisi (elit agamawan), tetapi juga penguasa ekonomi dan politik (elit pasar dan elit negara).

Di sinilah Islam Emansipatoris menemukan momentumnya sebagai gerakan pembebasan dengan spirit religius. Keimanan dihayati tidak secara pasif dan taken for granted, melainkan secara aktif mendorong terus upaya pembebasan manusia dari belenggu persoalan yang menjeratnya. Agama tidak hanya dihayati sebagai warisan (tradisi) yang diterima secara turun-temurun melainkan mesti diterima dengan penuh kesadaran (kritis) karena adanya kemungkinan reduksi baik di tingkat wacana, lebih-lebih di tingkat praksis. Agama dipahami sebagai panggilan untuk melakukan perubahan (transformasi) dan pemberdayaan (emansipasi) bagi mereka yang tertindas baik secara kultural maupun struktural. Sebagai dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan, teks dan realitas mesti sama-sama ditafsirkan secara kritis, transformatif, humanis dan tidak berhenti pada pergulatan intelektual melainkan juga diorientasikan pada dan diimplementasikan untuk perubahan di tingkat praksis.

II.GAMBARAN UMUM

Pendidikan Islam Emansipatoris merupakan kerjasama JIE-P3M dengan Pengurus Senat Universitas atau Institut beberapa perguruan tinggi di Indonesia Diikuti sekitar 25 mahasiswa dari sebuah perguruan tinggi di lingkungan yang sama selama tiga hari efektif. Materi utama adalah Kajian Metodologi al-Qur’an, Hermeneutika, Teologi Pembebasan dan Analisis Sosial.

III.TUJUAN

1. Menanamkan penghayatan keagamaan yang menjadikan problem kemanusiaan sebagai komitmen utamanya pada masyarakat kampus. 2. Menawarkan perspektif baru dalam beragama dengan menjadikan realitas kekinian sebagai titik tolak dan titik akhir dari penghayatan keberagamaan. 3. Mendorong partisipasi aktif masyarakat kampus dalam upaya penyelesaian problem-problem kemanusiaan.

IV.TARGET

1. Munculnya kader muslim emansipatoris tekun ibadah kepada Allah sekaligus peka terhadap problem kemanusiaan. 2. Munculnya kesadaran bahwa terlibat aktif dalam perubahan sosial adalah kewajiban agama. 3. Lahirnya kesadaran keberagamaan yang tidak terlepas dari realitas kekinian

V.INDIKASI

1. Semakin banyaknya muslim berlatar belakang agama yang konsern dengan problem kemanusiaan. 2. Semakin banyaknya wacana keagamaan yang dikaitkan dengan problem kemanusiaan kontemporer 3. Semakin banyaknya kader muslim berlatar belakang agama yang menekuni disiplin ilmu umum.

VI.OUT PUT

Lahirnya kelompok diskusi kampus yang mau dan mampu: 1. Mendiskusikan dengan intens wacana-wacana Islam Emansipatoris 2. Memperkenalkan wacana Islam Emansipatoris di lingkungan kampus 3. Mengikuti issue problem kerakyatan di daerah masing-masing 4. Berpartisipasi aktif dalam gerakan pembebasan di lingkungan masing-masing

VII.FASILITATOR

1. Masdar Farid Mas’udi 2. Zuhairi Misrawi 3. Nur Rofiah 4. Hasan Basri 5. Very Verdiansyah

VIII.NARASUMBER

1. Dr. Haryatmoko 2. Dr. Frans Budi Hardiman 3. Dr. Amin Abdullah 4. Dr. Komaruddin Hidayat 5. Dr. Herry Priyono 6. Trisno S. Sutanto

IX.PESERTA

Kriteria Peserta: 1. Mahasiswa sebuah perguruan tinggi agama atau berlatar belakang pendidikan agama 2. Kritis 3. Aktif dalam organisasi kampus atau pergerakan 4. Terampil menulis

X.SISTIM REKRUITMEN

Partner P3M di daerah membuka pendaftaran Pendidikan Islam Emansipatoris secara terbuka dengan menempelkan selebaran dan pengumuman. Salah satu syarat pendafataran adalah menyerahkan karya tulis tentang pandangan agama terhadap suatu problem sosial tertentu. Tulisan minimal tiga halaman, times new roman, font 12 dengan gaya bebas, reflektif dan kritis. Tulisan ini akan dijadikan bahan pertimbangan rekruitmen.

XI.TEMPAT

1. Jawa tengah (STAIN Pekalongan dan STAIN Kudus) 2. Kalimantan (STAIN Samarinda Kal-Tim dan IAIN Antasari Banjarmasin Kal-Sel) 3. Jawa Barat (IAIN Sunan Gunung Djati Bandung dan IAI Cipasung Tasikmalaya) 4. Sumatera (IAIN Palembang Sum-Sel dan IAIN Medan Sum-Ut, IAIN Riau) 5. DKI Jakarta (Institut Ibnu Khaldun, UMJ dan UID) 6. Jawa Timur (IAIN Sunan Ampel Sby, IAIN Jember dan IAIN Malang, STAIN Pamekasan) 7. Banten (STAIN Serang) 8. NTB (IAIN Sunan Ampel Lombok) 9. Sulawesi (IAIN Makassar) 10. Yogyakarta (UII danUMY)

XII.WAKTU

Sabtu-Minggu- Senin terakhir setiap bulan kecuali Ramadhan sepanjang September 2004-Agustus 2006

XIII.BAHAN PUSTAKA

A.Hermeneutika al-Qur’an

1. Mafhum al-Nash (Tekstualitas al-Qur’an)- Nasr Hamid Abu Zaid 2. Naqd al-Khitab ad-Dini (Kritik Wacana Agama)- Nasr Hamid Abu Zaid 3. An-Nashsh as-Sulthah, al-Haqiqah (Teks Otoritas Kebenaran)- Nasr Hamid Abu Zaid 4. Al-Fann al-Qashashi fi al-Qur’an al-Karim (Al-Qur’an Bukan Kitab Sejarah)- Ahmad Muhammad Khalafullah 5. Toward an Islamic Reformation (Dekonstruksi Syari’ah)- Abdullahi Ahmed an-Na’im 6. Speak in God’s Name (Atas Nama Tuhan)- Khaled Abou El-Fadl 7. Lectures du Coran (Kajian Kontemporer al-Qur’an)-M. Arkoun 8. Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an-Taufik Adnan Amal 9. Islam Emansipatoris-Very Verdiansyah 10. Three Faces of Hermeneutics; An Introduction to Current Theories of Understanding (Hermeneutika, Wacana Analitis, Psikososial, & Ontologis)- Roy J. Howard 11. Truth dan Methode-Gadamer 12. The World, Critics and Text –Edward Said

B.Analisis Sosial

1. Social Theory (Teori-Teori Sosial)-Peter Beilharz 2. Power/ Knowledge (Wacana Kuasa/ Pengetahuan)-Michel Foucault 3. Power and Cultur - Piere Bordiu 4. Jurnal BASIS edisi khusus Piere Bordiu 5. Totalitarianisme I,II,III-Hannah Aren

C.Teologi Pembebasan

1. Mahatma Gandhi and His Apostles (Ajaran-Ajaran Mahatma Gandhi)-Ved Mehta 2. Teologi Pembebasan Gustavo Guiterrez- A. Suryawasita, S.J. 3. Hermeneutika Pembebasan- Ilham B. Saenong 4. Teologi Pmebebasan-Fr. Wahono Nitiprawiro 5. Mahatma Gandhi-VCD 6. Malcolm X-VCD 7. Islam Pembebasan- Ali Asghaar Engineer 8. Islam Modern- Ali Asghar Engineer 9. Al-Qur’an, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas-Farid Essack

XIV.PENUTUP

Demikian TOR ini dibuat sebagai acuan penyelenggaraan Pendidikan Islam Emansipatoris

Tags:


Masykur Maskub: Penggerak "Silent Transformation" di NU

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

02/01/2006

Tentu, kesederhanaan hidup seperti ini kontras dengan perubahan pola kehidupan di kalangan NU, terutama setelah era reformasi politik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa saat ini, pola hidup tokoh-tokoh NU mulai berubah, mulai lebih kelihatan sedikit "mewah".

Tokoh yang pendiam itu telah meninggal dalam insiden kendaraan bermotor di kawasan Pancoran, pada 30 Desember 2005. Pak Masykur, guru, teman, dan sahabat yang sangat saya hormati dan cintai itu telah meninggalkan kita untuk selamanya. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.....

Masykur Maskub, atau Pak Masykur --begitu kawan-kawan muda NU kerap menyapanya-- bukanlah tokoh yang "cemlorot" dan terkenal. Dia nyaris tak pernah muncul di TV, pernyataan-pernyataannya jarang dikutip media, dan kehadirannya mungkin hanyalah dirasakan "bermakna" buat kalangan terbatas yang mengenalnya dari dekat. Dia bukanlah Gus Dur yang kehadirannya nyaris "pervasive" dan ada di mana-mana. Pak Masykur mung tampak hadir hanya buat segelintir orang, tetapi, believe me, kehadirannya yang terbatas itu mempunyai makna yang mendalam, bukan saja buat teman-temannya, tetapi lebih besar lagi buat NU. Dialah orang yang, di mata saya, melakukan "silent transformation" (perubahan diam-diam). Jika tak khawatir menimbulkan efek berbihan, saya hampir saja mengatakan "revolusi diam-diam".

Usahanya, tentu bersama kawan-kawannya yang lain, untuk menegakkan institusi lembaga riset, kajian dan pengembangan sumber daya manusia NU, yakni Lakpesdam-NU, serta membangun sistem yang kredibel dan bermartabat dalam lembaga itu, jarang dikenal oleh banyak orang, bahkan di lingkungan NU sendiri. Tetapi, berkat usahanya itu, Pak Masykur telah menjadikan Lakpesdam-NU sebagai salah satu lembaga NU yang berjalan normal sebagaimana laiknya sebuah institusi modern. Dia bekerja dari balik layar, wajahnya jarang, atau nyaris tak pernah, disorot oleh kamera, dan sosoknya hanya disadari oleh sejumlah orang di NU dalam kesempatan yang terbatas. Tentu dia hadir dalam setiap event besar NU, tetapi jarang orang menyadari bahwa dia telah melakukan hal yang "besar" buat NU. Dan saya kira, figur-figur yang bekerja dengan diam-diam untuk NU semacam ini bertebaran di seluruh daerah, dari mulai PB hingga ke pengurus ranting. Orang jarang mengenal mereka, dan mereka tentu tak risau jika tak banyak orang mengetahui apa yang telah mereka kerjakan untuk institusi yang mereka cintai lahir-batin, Nahdlatul Ulama. Saya kira, umur NU bisa panjang karena "tangan dingin" dan keikhlasan yang nyaris tanpa pamrih dari orang-orang semacam Pak Masykur ini.

Di kalangan anak-anak muda NU, terutama teman-teman yang sering mendefinisikan diri mereka sebagai "NU kultural", Pak Masykur dianggap sebagai pelindung dan pengayom. Meskipun jarang atau tidak banyak bicara, tetapi kehadiran Pak Masykur sangat berarti buat teman-teman itu. Dia, mungkin seperti garam: tidak terlihat di mangkuk waktu Anda menyantap bakso, tetapi jika bahan itu tak ada di sana, Anda merasa ada sesuatu yang hilang. Tak berlebihan, jika saya mengatakan bahwa Pak Masykur adalah semacam "mursyid" untuk teman-teman muda NU yang bergerak di jalur kultural.

Perkenalan saya dengan Pak Masykur berlangsung secara pelan-pelan, dan itu terjadi mula-mula pada 1983 di Madrasah Mathali'ul Falah, Kajen, Pati. Madrasah ini dipimpin oleh KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz, atau Kiai Sahal, sebagaimana kami dulu sering menyebut beliau. Saat itu, saya duduk di kelas 3 Tsanawiyah. Pada pandangan pertama, penampilan Pak Masykur sebagai seorang guru tak begitu meyakinkan. Pembawaannya terlalu "lembut" untuk mata pelajaran yang dia pegang saat itu, yakni "Kewarganegaraan Indonesia". Kami dulu menyebutnya "pelajaran civic". Dia mempunyai sifat yang agak unik, yaitu sulit mengatakan sesuatu yang ada dalam pikirannya. Dia kerapkali tampak seperti terengah-engah untuk melontarkan sesuatu yang berkecamuk di benaknya. Saat menerangkan sesuatu di kelas, Pak Masykur kelihatan seperti tergagap-gagap. Tak aneh, jika pada bulan-bulan pertama mengikuti kelas dia, saya tak terlalu terkesan.

Tetapi, pelan-pelan, kesan saya berubah total saat pelajaran sudah berjalan jauh. Meskipun Pak Masykur bukanlah seorang guru yang pandai berbicara, tetapi cara dia membangkitkan rasa ingin tahu di kalangan murid luar biasa. Salah satu momen yang paling tidak saya lupa adalah saat dia menjelaskan secara detil, walaupun dengan terengah-engah, sejarah sekitar kemerdekaan Indonesia. Tentu, keterangan tentang peristiwa di sekitar proklamasi sudah kerap saya dengar di kelas dari guru-guru lain. Tetapi, keterangan Pak Masykur sangat tidak "konvensional". Dia banyak menjelaskan detil-detil peristiwa penculikan Sukarno oleh Sukarni dan anak-anak muda "revolusioner" saat itu ke Rengasdengklok. Tentu, detil-detil itu tidak ada dalam buku teks pelajaran. Dia juga menjelaskan dengan menarik sekali rumitnya perdebatan dalam sidang-sidang persiapan kemerdekaan RI, serta debat di konstituante yang berakhir dengan dead-lock. Sejarah, di tangan dia, menjadi begitu hidup buat saya saat itu. Yang menarik adalah, dia juga menyebutkan sumber-sumber yang dia rujuk. Ketika membahas soal debat di konstituante tentang dasar negara itu, dia menyebut buku karangan Syafii Maarif terbitan LP3ES yang, belakangan saya ketahui, ternyata menjadi bahan pembicaraan luas, yaitu "Islam dan Masalah Kenegaraan". Dia antara lain menyebut jurnal Prisma sebagai salah satu sumber rujukannya. Seperti kita tahu, dekade 80-an awal adalah masa-masa kejayaan jurnal yang diterbitkan oleh LP3ES itu. Di sana, saya tahu ini belakangan, ada rubrik "tokoh" yang selalu memuat biografi sejumlah tokoh terkenal dalam sejarah Indonesia. Pak Masykur, saya kira, satu-satunya guru di madrasah saya yang membaca jurnal itu, bahkan berlangganan. Buat saya sebagai seorang santri dusun saat itu, nama-nama buku dan jurnal yang datang nun jauh dari kota tampak seperti barang "luks" yang nyaris tak terjangkau. Tetapi, believe me or not, Pak Masykur lah yang membuat barang-barang mewah itu bisa saya sentuh.

Belakangan saya kemudian tahu bahwa Pak Masykur rupanya bekerja sebagai seorang "social volunteer" untuk program pengembangan pesantren yang dilakukan oleh LP3ES, dan karena itulah dia mendapat kiriman rutin jurnal Prisma dan buku-buku terbitan LP3ES yang lain. Dari segi bacaan, Pak Masykur saat itu mendahului ratusan langkah dari guru-guru lain di madrasah saya. Karena cara dia mengajar yang hidup inilah saya menjadi tertarik dengan kelas dia. Setiap masuk kelas, selalu ada hal baru yang dia bawa yang tak ada dalam buku teks pelajaran. Dia selalu membawa hal-hal baru yang segar. Dunia saya sebagai seorang murid madrasah kampung yang sempit saat itu seperti diperluas cakrawalanya oleh penjelasan-penjelasan dia yang bersumber dari bahan bacaan yang kaya. Ada salah satu kebiasaan mengajar pada dia yang unik. Dia akan selalu mengakhiri kelas dengan mendaftar sejumlah bahan bacaan yang menjadi bahan rujukan dia. Tentu dia tak menuntut kami untuk membaca buku-buku itu. Sebab, semua bahan bacaan yang dia sebutkan itu tak ada di perpustakaan madrasah saya yang isinya sebagian besar adalah kitab kuning dan sejumlah buku "drop-dropan" (istilah yang dikenal waktu itu) dari pemerintah. Tetapi, ini uniknya, dia selalu mempersilakan murid-muridnya untuk datang ke rumahnya untuk meminjam buku-buku bacaan yang dia anjurkan. Dia hanya ingin memperlakukan kami, murid madarasah Tsanawiyah, seperti seorang mahasiswa.

Udangan ini langsung saya sambut dengan suka cita. Jarak antara rumah saya dan rumah Pak Masykur yang berada di desa Sumerak (sekitar 7 kilo ke arah selatan dari kota Kawedanan Tayu) sekitar 5 kilo. Saya selalu naik sepeda "onthel" (istilah yang lazim dipakai di desa saya) ke rumah dia; sekitar 45 menit. Pertama kali saya berkunjung ke rumahnya, saya terkesima. Untuk pertama kali saya melihat koleksi jurnal Prisma yang dibundel dengan rapi dan bagus. Buku-buku terbitan LP3ES juga ada di sana, dengan beragam topik dan tema: politik, ekonomi, sosial-budaya, agama, dll. Saya tak pernah menyaksikan bahan bacaan seperti itu sebelumnya, bahkan di perpustakaan madrasah pun tidak. Dalam hati, saya berkata, "Pantesan kelas Pak Masykur kaya dengan informasi-informasi baru, abis bacaannya keren kayak gini." Saya masih ingat, buku pertama kali yang saya pinjam dari koleksi pribadi Pak Masykur adalah dua buku bunga rampai tulisan seorang intelektual Indonesia yang paling dihormati saat itu, Soedjatmoko. Dua buku itu adalah: Dimensi Manusia dalam Pembangunan dan Etika Pembebasan. Tidak seluruh tulisan Soedjatmoko yang rumit itu bisa saya cerna. Tetapi, membaca buku-buku itu, saya merasa ada sesuatu yang "lain" di luar pelajaran keagamaan a la pesantren yang saya terima selama ini. Saya juga mulai meminjam beberapa edisi jurnal Prisma. Dari sanalah saya mulai mengenal sejumlah inetelektual Indonesia yang terkenal pada saat itu: Abdurrahman Wahid, Ignas Kleden, Ismid Hadad, Dawam Rahardjo, Fachry Ali, Juwono Sudarsono, Daniel Dhakidae, Aswab Mahasin, Lukman Sutrisno, Prof. Sajogjo (yang ahli pergizian itu), Sediono Tjondronegoro, Rahman Tolleng, Burhan D Magenad, YB Mangunwijaya, Soetjipto Wirosardjono, Nurcholish Madjid, Syafii Maarif, Amien Rais, Jalaluddin Rakhmat, dll. Tentu perkenalan saya dengan tokoh-tokoh ini tidak terjadi sekaligus. Dalam rentang waktu empat tahun, sejak kelas 3 Tsanawiyah hingga 3 Aliyah, saya tak pernah henti-hentinya diajar oleh Pak Masykur, dan tak henti-hentinya pula saya melahap koleksi pribadi dia. Belakangan, setelah terbit majalah Pesantren oleh P3M, lembaga yang sekarang dipimpin oleh Masdar F. Masudi, daftar pinjaman saya tentu mencakup jurnal itu. Majalah lain yang saya pinjam adalah Pesan yang juga diterbitkan oleh LP3ES dan dikhususkan sebagai bacaan untuk para santri ('Pesan' adalah kependekan dari 'Pesantren').

Di samping mengajar di madrasah asuhan Kiai Sahal itu, Pak Masykur juga terlibat dalam sebuah LSM yang berada di bawah naungan Pesantren Maslakul Huda, asuhan Kiai Sahal. Nama LSM itu adalah BPPM, Badan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat. BPPM adalah salah satu mitra kerja LP3ES, dan belangan P3M, dalam program pengembangan pesantren dan masyarakat. Dekade 80-an adalah periode "romantis" LSM di Indonesia. Saat itu, banyak kalangan kritis yang merintis sejumlah LSM di Jakarta percaya bahwa perubahan sosial bisa terjadi lewat jalur yang non-developmentalis, yakni di luar jalur pembangunan yang ditempuh oleh pemerintah dengan ciri utamanya adalah pendekatan "top down": pemerintah memutuskan, rakyat tinggal manut saja. Pendekatan itu dikritik sebagai sumber kegagalan pembangunan saat itu. Oleh karena itu, harus dicari alternatif perubahan sosial yang lain. Timbullah gagasan tentang perubahan yang "bottom-up", dari bawah ke atas, dengan pendekatan yang saat itu dikenal sebagai metode partisipatoris. Karena pesantren dianggap sebagai lembaga pribumi yang berkembang dari bawah, maka banyak kalangan percaya bahwa perubahan sosial alternatif bisa ditempuh lewat peran pesantren. Ramailah orang menoleh ke pesantren, dan disertasi Zamakhsyari Dhofier yang diterbitkan oleh LP3ES saat itu dengan judul "Tradisi Pesantren" menjadi bacaan yang populer. Ada optimisme bahwa pesantren menjadi semacam "jalan ketiga" dalam melaksanakan perubahan sosial. Romantis memang.

Sebagai seorang santri madrasah, saya tak sepenuhnya memahami konsep-konsep yang rumit itu. Saya membacai banyak buletin dan terbitan-terbitan yang dikelola baik oleh LP3ES atau P3M yang dikirim ke BPPM. Semuanya mungkin karena kedekatan saya dengan Pak Masykur. Saat itu, saya bukan santri Maslakul Huda, sebab saya mondok di pesantren yang dikelola oleh ayah saya sendiri, Pesantren Mansajul Ulum di desa Cebolek. Tetapi, kedekatan saya dengan Pak Masykur memungkinkan saya untuk mengakses sumber-sumber bacaan yang dimiliki oleh BPPM yang berafiliasi dengan Pesantren Maslakul Huda itu.

Buat saya, dan saya kira juga buat murid-murid lain yang seangkatan dengan saya di Madrasah Mathali'ul Falah saat itu, Pak Masykur adalah layaknya sebuah "jendela" dari mana kami bisa menjenguk ke dunia luar. Bagi kami, Pak Masykur persis menempati posisi yang pada dekade 80-an dikenal sebagai "cultural broker" -- istilah yang dikenalkan oleh antropolog Amerika, Clifford Geertz, dan sangat populer di kalangan sarjana yang mengamati pesantren saat itu. Pak Masykur adalah "jembatan budaya" yang menghubungkan kami di madrasah dengan dunia luar yang tak kami kenal dengan baik saat itu.

Tahun 1987, kalau tak salah, Pak Masykur pindah ke Jakarta, karena diminta oleh Gus Dur untuk bergabung dengan teman-teman di Lakpesdam NU Pusat di Jakarta. Pertama kali saya bertemu dengan dia adalah pada 1988, di kantor Lakpesdam di Jl. Supomo, Pancoran. Sejak itu, saya makin dekat dengan dia, dan akhirnya, pelan-pelan, terlibat secara tak langsung dalam kegiatan di Lakpesdam yang saat itu di bawah kepemimpinan Pak Said Budairi, salah satu wartawan NU senior yang pernah terlibat di koran Duta Masyarakat milik NU. Sifat Pak Masykur tidak pernah berubah: dia tetap seorang pendiam, murah senyum, dan mengayomi. Tentu, interaksi saya dengan Pak Masykur sekarang berubah sifatnya: saya tak lagi menjadi murid dia, tetapi sebagai sesama teman di sebuah kantor; sebagai kolega. Meskipun, hingga akhir hayatnya, saya selalu menganggap Pak Masykur sebagai guru yang saya hormati. Ada kualitas-kualitas pribadi Pak Masykur yang mulai terkuak setelah saya bergaul dengan dia bukan semata-mata sebagai seorang murid, tetapi juag kolega. Dia adalah tipe orang yang "get-thing-done", yang selalu berusaha berpikir bagaimana segala sesuatu bisa terlaksana. Pak Masykur bukanlah seorang "idealis-pemimpi" yang suka berbicara tentang konsep-konsep besar dan gigantik, tetapi dia adalah orang yang sadar, bahwa bagaimanapun konsep besar harus bisa jalan di bumi. Dia juga orang yang sadar tentang pentingnya organisasi modern bagi NU. Oleh karena itu, sistem dan aturan main adalah faktor penting yang di mata dia sangat menentukan mati-hidupnya sebuah lembaga modern.

Sebagai orang yang tumbuh dalam kultur NU, tentu Pak Masykur sangat menghormati figur kiai. Bahkan, sebagaimana ia kisahkan secara pribadi pada saya, beberapa keputusan penting dalam hidupnya selalu ia ambil setelah berkonsultasi dengan seorang kiai sepuh yang sangat dia hormati, yakni allah yarham KH. Abdullah Salam, Kajen, yang di daerah kami dikenal dengan Mbah Dullah. Pak Masykur menaruh hormat yang dalam dan tulus pada kiai-kiai sepuh di NU. Tetapi, dia juga sadar bahwa NU harus ditegakkan bukan semata-mata atas dasar kharisma kiai sepuh. Sebagai lembaga modern, NU harus membangun sistem dan manajemen organisasi yang baik dan berjalan dengan normal. Dalam hal ini, Pak Masykur mengagumi figur lain dalam NU yang, secara kebetulan, mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dia: yakni kesederhanaan serta kesadaran yang tinggi tentang pentingnya sistem dan manajemen. Tokoh itu tak lain adalah almarhum Fahmi Saifuddin, putera dari mantan Menteri Agama Saifuddin Zuhri. Dalam istilah yang dikenal selama ini di kalangan NU, Pak Masykur menghendaki agar NU tidak berhenti sebagai 'jama'ah' atau kumpulan biasa, tetapi juga meningkat sebagai 'jam'iyyah', yakni organisasi yang ditegakkan atas dasar aturan main dan sistem yang kokoh. Dedikasi Pak Masykur yang berlangsung lebih dari 15 tahun di Lakpesdam dikerahkan, antara lain, untuk membangun "jam'iyyah" itu, lewat institusi Lakpesdam. Bersama teman-teman lain seperti Lukman Saifuddin, Mufid A. Busyairi, Helmi Ali, Muntajid Billah, Yahya Ma'shum, Pangcu Driantoro, Masrur Ainun Najih, Lilis N. Husna, dan senior-senior lain sepeti MM Billah dan Said Budairi, Pak Masykur telah menjadi bagian dari arus penting untuk men-jam'iyyahkan NU.

Saya tahu, cinta pertama dan terakhir Pak Masykur adalah NU dan kiai. Oleh karena itu, seluruh orbit kehidupan dia berputar di sekiar pesantren, NU dan kiai. Dia tak pernah lepas dari dunia para kiai itu. Salah satu etos yang begitu menonjol dan dilihat secara mencolok oleh teman-teman NU pada figur Pak Masykur, dan terutama di Lakpesdam, adalah etos kesederhanaan dan kejujuran -- salah satu etos yang diajarkan di pesantren. Pertama kali saya bertemu dengan dia di luar kantor adalah di rumahnya yang sangat sederhana di kawasan Pancoran. Rumah kontrakan itu hanya mempunyai dua kamar yang sempit, dengan keadaan bangunan yang sangat sederhana. Lokasi rumah agak menjorok ke dalam, dinaungi oleh pohon sawo yang rimbun. Selama bertahun-tahun Pak Masykur tinggal di rumah sederhana itu. Baru beberapa tahun belakangan, Pak Masykur memutuskan untuk membeli rumah sendiri --rumah kecil yang terletak tak jauh dari rumah kontrakannya yang lama. Rumah yang ia beli sendiri ini jauh dari kesan mewah, dan letaknya agak jauh dari jalan utama. Untuk mencapai ke sana kita harus melewati gang kelinci yang agak menikang-nikung. Selama hidupnya, Pak Masykur tidak memiliki mobil. Sejak pertama kali saya melihat dia di madrasah Mathali'ul Falah hingga akhir hayatnya, dia hanya memakai sepeda motor. Kami, muridnya saat itu, selalu mengenali dia lewat sepeda motor Yamaha bebek merah keluaran tahun 70-an. Saat di Jakarta, dia mempunyai sepeda motor yang agak sedikit lebih baik, yaitu Honda seri lebih baru (saya sudah lupa). Tetapi, hingga akhir hayatnya, dia selalu "istiqamah" memakai sepeda motor. Bahkan, tragisnya, dia harus meninggal dalam insiden sepeda motor.

Tentu, kesederhanaan hidup seperti ini kontras dengan perubahan pola kehidupan di kalangan NU, terutama setelah era reformasi politik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa saat ini, pola hidup tokoh-tokoh NU mulai berubah, mulai lebih kelihatan sedikit "mewah". Meskipun tak ada sesuatu yang sepenuhnya salah dalam perkembangan seperti ini, tetapi perubahan gaya hidup di kalangan tokoh-tokoh agama semacam itu tentu menimbulkan "gunjingan" di kalangan masyarakat. Pak Masykur tentu ikut risau dengan keadaan semacam ini. Dalam pembicaraan pribadi, dia selalu mengingatkan saya pada kesederhanaan hidup yang diteladankan oleh Mbah Dullah di Kajen. Dalam salah satu momen pembicaraan via telepon yang sangat menyentuh, bahkan dia nyaris menangis menceritakan kembali teladan kehidupan Mbah Dullah kepada saya. Saat dia menjabat sebagai Direktur Lakpesdam selama 10 tahun, dia sempat menikmati fasilitas mobil kantor. Tetapi, dia tak pernah membawa mobil itu ke rumah, karena tentu hal itu tak mungkin. Dia sendiri tak mempunyai areal parkir. Rumahnya berada di kawasan yang "crowded" dan berhimpit dengan rumah-rumah lain. Setelah usai menjadi Direktur Lakpesdam beberapa bulan sebelum dia meninggal, dia kembali "istiqamah" dengan kendaraan lamanya: sepeda motor. Dia tak pernah berubah: hidup dengan sederhana.

Ada satu hal yang selalu dia kisahkan kepada saya dengan penuh kebanggaan dan rasa puas, yaitu pendidikan putera-puteranya. Dia selalu bilang bahwa dia bersyukur pada Allah karena sebagai orang yang berpenghasilan tak terlalu besar, dia berhasil menyekolahkan putera-puteranya ke UGM, UI, dan ITB. Ini karunia besar yang selalu dia syukuri. Dia selalu mengatakan pada saya bahwa ini semua terjadi bukan semata-mata karena usaha keras dia dan isterinya, tetapi juga berkat restu kiai sepuh yang tak lain adalah Mbah Dullah. Dia mengisahkan bahwa keberangkatan dia ke Jakarta bukanlah tanpa suatu dilema. Dia akhirnya bisa memecahkan dilema itu setelah mendapat restu dari Mbah Dullah. Dia berangkat dengan hati yang tenang dan mantap setelah mendapat izin dari kiai yang dia sangat hormati.

Setelah usai menjabat sebagai Direktur Lakpesdam, dia aktif di lembaga baru yang didirikan oleh sejumlah anak-anak muda NU, di bawah asuhan Kiai A Mustofa Bisri, atau lebih dikenal dengan Gus Mus, yaitu "Mata Air" yang kantornya terletal di kawasan Tebet. Lagi-lagi, Pak Masykur tidak bisa bergerak jauh dari dunia kiai. Kantor lembaga itu memang tak terlalu jauh dari rumah dia, kira-kira 15 menit. Dia sering berangkat, pulang-pergi, ke kantor baru itu dengan mengendarai sepeda motor. Dia tampaknya menjadi salah satu tumpuan Gus Mus untuk menjalankan lembaga baru itu. Kesederhanaan dan kejujuran Pak Masykur nyaris seperti "mata air" di NU.

Walau nama dia tak hingar-bingar dikenal oleh kalangan luas, baik di NU atau di luarnya, tetapi Pak Masykur telah menjaid ilham untuk beberapa anak muda di NU, sekurang-kurangnya buat saya dan teman-teman saya sekelas di Mathali'ul Falah dan teman-teman muda lain di Lakpesdam. Dengan caranya sendiri, dan dengan pembawaannya yang sangat halus, dia telah melakukan transformasi diam-diam dalam tubuh pesantren dan NU.

Mari kita bacakan al-Fatihah untuk arwahnya. Semoga segala amalnya diterima oleh Allah dan segala kekhilafannya diampuni olehNya.

Tags

Doktrin-Doktrin Yang Kurang Perlu dalam Islam

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

07/01/2008

Saya hanya ingin menganjurkan suatu corak keberagamaan yang rendah hati, yang tidak arogan dengan mengemukakan kleim-kleim yang berlebihan tentang agama. Jika Islam menganjurkan etika "tawadlu'", atau rendah hati, maka etika itu pertama-tama harus diterapkan pada Islam sendiri. Mengaku bahwa agama yang paling benar adalah Islam jelas menyalahi etika tawadlu' itu.

Banyak hal dalam agama yang jika dibuang sebetulnya tidak mengganggu sedikitpun watak dasar agama itu. Oleh para pemeluk agama, banyak ditambahkan hal baru terhadap esensi agama itu, sekedar untuk menjaga aura agama itu agar tampak "angker" dan menakutkan di mata pemeluknya. Saya akan mengambil contoh Islam.

Satu, doktrin bahwa Nabi tidak bisa berbuat salah. Menurut saya, doktrin ini sama sekali tak berkaitan dengan inti dan esensi agama Islam, dan karena itu kurang perlu. Jika doktrin ini dihilangkan, Islam tidak menjadi kurang nilainya sebagai sebuah agama. Mengatakan bahwa manusia, apapun namanya (entah Nabi, Rasul, Imam [dalam Syiah], Paus [dalam Katolik]) sebagai "infallible", tidak bisa berbuat salah, jelas tak masuk akal.

Dua, doktrin bahwa sumber hukum hanya terbatas pada empat: Quran, hadis, ijma', dan qiyas. Doktrin ini menjadi "hallmark" dari sekte Ahlussunnah waljamaah di mana-mana, sepanjang sejarah. Doktrin ini sebetulnya kurang perlu dan menjadi alat ortodoksi Islam untuk mempertahankan status quo. Sumber hukum jelas tidak bisa dibatasi dalam empat sumber itu. Islam tidak berkurang nilainya sebagai agama jika doktrin ini dihilangkan.

Tiga, doktrin bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi akhir zaman. Doktrin ini jelas "janggal" dan sama sekali menggelikan. Setiap agama, dengan caranya masing-masing, memandang dirinya sebagai "pamungkas", dan nabi atau rasulnya sebagai pamungkas pula. Doktrin ini sama sekali kurang perlu. Apakah yang ditakutkan oleh umat Islam jika setelah Nabi Muhammad ada nabi atau rasul lagi?

Empat, doktrin bahwa sebuah agama mengoreksi atau bahkan menghapuskan agama sebelumnya. Ini adalah yang disebut sebagai doktrin supersesionisme. Doktrin ini tertanam kuat dalam psike dan "mindset" umat Islam. Doktrin ini tak lain adalah cerminan "keangkuhan" sebuah agama. Kehadiran agama tidak terlalu penting dipandang sebagai "negasi" atas agama lain. Agama-agama saling melengkapi satu terhadap yang lain. Kristen bisa belajar dari Islam, Islam bisa belajar dari Yahudi, Yahudi bisa belajar dari tradisi-tradisi timur, dan begitulah seterusnya.

Lima, doktrin bahwa kesalehan ritual lebih unggul ketimbang kesalehan sosial. Orang yang beribadah dengan rajin kerap dipandang lebih "Muslim" ketimbang mereka yang bekerja untuk kemanusiaan, hanya karena mereka tidak beribadah secara rutin. Agama bisa ditempuh dengan banyak cara, antara lain melalui pengabdian kepada kemanusiaan.

Enam, doktrin bahwa mereka yang tidak mengikuti jalan Islam atau agama orang berangkutan adalah "kafir". Ini mekanisme yang nyaris standar dalam semua agama. Semua agama cenderung memandang bahwa mereka yang ada di luar "lingkaran penyelamatan" adalah domba-domba sesat. Doktrin ini, sekali lagi, cerminan dari arogansi sebuah agama tertentu. Sudah jelas bahwa jalan keselamatan adalah banyak sekali.

Tujuh, berkaitan dengan doktrin sebelumya, ada doktrin lain yang biasanya bekerja dalam lingkaran internal masing-masing agama. Dalam Islam, ada doktrin tentang "sekte yang diselamatkan", al-firqah al-najiyah. Kelompok yang menyebut dirinya ahlussunnah wal-jamaah memandang dirinya sebagai satu-satunya kelompok dalam Islam yang masuk sorga, sementara kelompok lain sesat. Begitu juga kelompok Syiah memandang dirinya sebagai satu-satunya kelompok yang selamat, selebihnya sesat. Doktrin ini diteruskan oleh MUI dalam bentuk lain melalui fatwa penyesatan. Mendaku bahwa yang selamat hanya lingkaran tertentu adalah sebentuk arogansi.

Delapan, doktrin bahwa jika Kitab Suci mengatakan A, maka seluruh usaha rasional harus berhenti. Kitab Suci adalah firman Tuhan, dan firman Tuhan tak mungkin salah. Oleh karena itu, jika Tuhan sudah mengeluarkan sebuah "dekrit", maka seluruh perbincangan harus berhenti. Doktrin ini tercermin dalam sebuah "legal maxim" atau kaidah hukum dalam teori hukum Islam yang berbunyi, "la ijtihada fi mahal al-nass", tidak ada "independent reasoning" dalam hal-hal di mana teks Kitab Suci sudah mempunyai kata putus. Dengan kata lain, ijtihad harus dihentikan jika Kitab Suci sudah memutuskan sesuatu. Dalam diskursus filsafat modern di Amerika, hal ini disebut sebagai "discussion stopper", agama sebagai penghenti diskusi. Sudah jelas Kitab Suci terkait dengan konteks sejarah tertentu, dan banyak hal yang dikatakan Kitab Suci sudah tak relevan lagi karena konteks-nya berbeda.

Sembilan, doktrin bahwa hukum hanya bisa dibuat oleh "syari'" atau legislator. Yang disebut legislator dalam konteks Islam adalah Tuhan, kemudian secara derivatif juga Nabi Muhammad. Para ulama atau fukaha datang belakangan sebagai penafsir atas hukum itu, dan pelan-pelan juga menempati kedudukan sebagai "pembuat hukum" atau legislator hukum agama. Doktrin ini sangat kuat tertanam dalam Islam. Doktrin ini juga kuat tertanam dalam agama Yahudi. Deklarasi Qur'an sudah sangat jelas dan sangat "kategorikal" , bahwa Adam dan seluruh keturunannya adalah "khalifah" di muka bumi. "Kekhilafahan" di sini, dalam tafsiran saya, mencakup pula kompetensi untuk menciptakan hukum yang mengatur ketertiban di muka bumi ini. Seluruh individu, dalam pandangan Islam yang saya pahami, adalah obyek dan subyek hukum sekaligus. Dengan kata lain, hukum bukan hanya diciptakan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusia. Manusia secara generis adalah syari', bukan saja Nabi atau ulama/fukaha.

Ini paralel dengan konsep "kewarganegaraan modern" di mana konsep "warga negara" mencakup secara intrinsik kemampun untuk membuat dan men-generate sebuah hukum. Jika ada kelebihan pada ahli hukum atau fukaha yang membuat mereka menjadi spesial kedudukannya adalah karena mereka mempunyai "training" untuk merumuskan sebuah hukum dalam prosedur yang standar. Tetapi sumber hukum bukan saja hanya ada pada Kutab Suci, sabda-sabda Nabi, atau pendapat ulama, tetapi juga manusia secara keseluruhan.

Sepuluh, doktrin bahwa Kitab Suci bersifat seluruhnya supra-historis, karena ia adalah firman Tuhan. Karena Tuhan bersifat supra-sejarah, maka firmanNya pun bersifat supra sejarah pula. Karena itu, Kitab Suci juga supra sejarah. Kebenaran Kitab Suci tak terikat dengan ruang dan waktu. Pandangan ini lagi-lagi adalah pandangan yang "angkuh". Akan lebih proporsional jika kita mengatakan bahwa ada hal-hal yang supra-sejarah dalam Kitab Suci, tetapi juga ada hal-hal lain yang cukup banyak yang terikat dengan sejarah. Bagian Kitab Suci yang "lengket sejarah" ini bisa tidak relevan sama sekali jika keadaan berubah.

Sebelas, doktrin bahwa Islam bisa menjawab semua masalah. Doktrin ini jelas hanya retorika belaka. Sebab pada kenyataannya tidak demikian. Solusi agama atau Islam, jika pun ada, juga tidak mesti sukses dan berhasil. Sebagaimana solusi-solusi sekuler, solusi Islam juga bisa gagal, seperti terbukti dalam banyak kasus.

Saya masih memiliki daftar yang panjang. Tetapi, itulah hal-hal pokok yang ingin saya kemukakan di sini. Saya hanya ingin menganjurkan suatu corak keberagamaan yang rendah hati, yang tidak arogan dengan mengemukakan kleim-kleim yang berlebihan tentang agama. Jika Islam menganjurkan etika "tawadlu'", atau rendah hati, maka etika itu pertama-tama harus diterapkan pada Islam sendiri. Mengaku bahwa agama yang paling benar adalah Islam jelas menyalahi etika tawadlu' itu. Mendaku bahwa setelah Nabi Muhammad tidak ada nabi atau rasul lagi adalah berlawanan dengan etika tawadlu'. Mendaku bahwa Islam menghapuskan agama sebelumnya sama sekali tak mencerminkan sikap tawadlu'.

Tags:

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pesantren sebagai model lembaga pendidikan Islam pertama yang mendukung kelangsungan sistem pendidikan nasional, selama ini tidak diragukan lagi kontribusinya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sekaligus mencetak kader-kader intelektual yang siap untuk mengapresiasikan potensi keilmuannya di masyarakat (Tolkhah dan Barizi: 2004: 49). Dalam perjalanan misi kependidikannya, pesantren mengalami banyak sekali hambatan yang sering kali membuat laju perjalanan ilmiah pesantren menjadi pasang surut.

Hal ini tidak terlepas dari peran dan ketokohan seorang kiai sebagai pemegang otoritas utama dalam pengambilan setiap kebijakan pesantren. Sebagai seorang top leader, kiai diharapkan mampu membawa pesantren untuk mencapai tujuannya dalam mentransformasikan nilai-nilai ilmiah (terutama ilmu keagamaan) terhadap umat (baca: santri) sehingga nilai-nilai tersebut dapat mengilhami setiap kiprah santri dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Dalam sejarahnya di masa yang lalu, pesantren telah mampu mencetak kader-kader handal yang tidak hanya dikenal potensial, akan tetapi mereka telah mampu mereproduksi potensi yang dimiliki menjadi sebuah keahlian yang layak jual. Seperti halnya di era pertama munculnya pesantren, yaitu pada masa kepemimpinan wali songo pesantren telah mampu melahirkan kader-kader seperti Sunan Kudus (Fuqoha’), Sunan Bonang (Seniman), Sunan Gunung Jati (Ahli Strategi Perang), Sunan Drajat (Ekonom), Raden Fatah (Politikus dan Negarawan), dan para wali yang lain(.A’la, 2006: 17). Mereka telah mampu menundukkan dominasi peradaban Majapahit yang telah berkuasa selama berabad-abad, yang dikenal sebagai suatu kerajaan dengan struktur pemerintahan dan pertahanan negara yang cukup disegani di kawasan Asia Tenggara.

Hal ini menjadi sangat logis sekali ketika hampir semua lembaga pendidikan di Indonesia termasuk sebagian pesantren yang mulai berlomba-lomba mencetak teknokrat dan ilmuan dengan berbagai gelar akademis, sementara disisi yang lain tugas utama pesantren untuk mencetak kader-kader fuqoha’ dan pemuka agama mulai kurang mendapat perhatian. Akankah pesantren harus mendukung realitas kehampaan spritual yang sedang menggejala di masyarakat modern saat ini?

Menurut K.H.R. As’ad Syamsul Arifin, saat ini ternyata pesantren seolah sudah mulai kehilangan daya kekebalannya untuk membendung arus modernisasi dan westernisasi yang sudah mulai menggejala sejak pertengahan abad ke XX. Banyak sekali pesantren-pesantren salaf yang mulai merubah orientasi pendidikannya menjadi pola pendidikan kebarat-baratan. Menurut Kiai As’ad bukannya pesantren tidak boleh modern, akan tetapi semangat untuk mengakomodir tuntutan zaman (baca: Modernisasi) haruslah disertai dengan konsistensi terhadap nilai-nilai yang dianut, yakni nilai-nilai salafiyah. (Arifin, 2000; 45)

Nilai-nilai salafiyah harus tetap menjadi prinsip sebagai benteng utama dalam menetralisir aspek-aspek negatif yang ditimbulkan dari dampak modernisasi yang saat ini mulai mempopulerkan diri dalam ranah pendidikan di Indonesia termasuk lembaga pendidikan pesantren. Sehingga pesantren tidak dikatakan latah dan cenderung menjadi bulan-bulanan peradaban modern yang kandungan nilai-nilainya tidak kesemuanya sesuai dengan prinsip-prinsip salaf.

Adapun orientasi khittah pesantren sendiri diharapkan mampu untuk menyegarkan kembali pemahaman konsep salafiyah pesantren yang mulai kehilangan identitasnya dalam belantara pendidikan pesantren di Indonesia. Dalam pandangan kiai As’ad, saat ini pesantren seolah lebih serius membangun paradigma pendidikan ala modern tanpa diiringi konsistensi terhadap sistem pendidikan salaf yang pada awalnya menjadi platform dari perjuangan pendidikan pesantren. Akibatnya pembacaan terhadap produk pesantren akan mengalami ambiguitas dalam hal kompetensi.

Sementara yang terjadi saat ini pesantren dengan sederetan argumentasi yang banyak dikemukakan para pengelolanya, berdalih bahwa apa yang dilakukan mereka semata-mata dalam rangka menjembatani nilai-nilai tradisionalisme pesantren dengan nilai-nilai modern yang saat ini banyak diminati oleh semua kalangan. Hal ini direalisasikan dengan didirikannya sekolah-sekolah umum, laboratorium, dan lain-lain. Dengan adanya fasilitas-fasilitas tersebut diharapkan ada penyeimbangan antara materi pokok di pesantren yang berbasiskan kitab kuning dengan materi-materi pelajaran umum (A’la, 2006: 21).

Respon pesantren terhadap gejala-gejala modernisme dapat dilacak dengan berbagai gerakan inovatif yang seringkali mengaburkan idealismenya sebagai pemegang tradisi salaf. Sehingga akar tradisi yang sejak semula menjadi sesuatu yang sakral, saat ini harus tergantikan dengan kultur modern tanpa disertai upaya untuk menetralisir sistem yang cenderung merusak tradisi salafnya. Tanpa adanya upaya ini (penetralisiran sistem), nilai-nilai salafiyah akan menjadi simbol-simbol formalistik yang terabaikan dalam perilaku masyarakat pesantren.

Untuk itu, merupakan suatu keharusan untuk mengembalikan pendidikan pesantren pada nilai hakikinya (kembali ke khittah). Hal ini didasarkan pada tugas pesantren yang sejatinya berorientasi pada pemeliharaan dan pembumian (baca: kontekstualisasi) nilai-nilai salaf dalam realitas kehidupan masyarakat. Hal ini sejalan dengan semangat Islam, sebagai agama yang mengajarkan umatnya untuk melakukan pembebasan secara keseluruhan dari segala belenggu yang akan mereduksi nilai-nilai kemanusiaan (A’la, 2006: 11).

Dari latar belakang inilah akhirnya penulis mengangkat tema “Khittah Pesantren Perspektif Pemikiran K.H.R. As’ad Syamsul Arifin” sebagai suatu tawaran pemikiran dalam menggagas gerakan pengembangan kualitas pesantren di era modern saat ini.

B. Alasan Pemilihan Judul

Sebagai upaya melegitimasi kriteria dalam penelitian, peneliti akan menguraikan beberapa alasan argumentatif mengapa peneliti memilih judul Khittah Pesantren Perspektif K.H.R. As’ad Syamsul Arifin, yang kemudian akan disesuaikan dengan beberapa faktor yang harus dipenuhi oleh peneliti.

Dalam penelitian ilmu pendidikan (Tarbiyah), pemilihan judul ini sebenarnya terdapat beberapa alasan mendasar yang menjadi latar belakang kajiannya, sehingga penelitian ini dapat dipertangungjawabkan secara akademis dan ilmiah. Adapun alasan-alasan tersebut sebagai berikut:

1. Alasan Objektif

1. Judul ini dipilih karena pesantren merupakan salah satu pendidikan Islam tertua di Indonesia yang masih eksis.

2. Pentingnya menelusuri pemikiran K.H.R. As’ad Syamsul Arifin sebagai salah satu pengasuh pondok pesantren di Indonesia.

3. Pentingnya gagasan tentang khittah pesantren untuk menjembatani arus transformasi gerakan pendidikan pesantren di era modern.

2. Alasan Subjektif

1. Judul diatas sangat menarik dan relevan untuk diteliti serta tidak menyimpang dari spesialisasi keilmuan peneliti pada Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam.

2. Tersedianya literatur-literatur pendukung sebagai referensi untuk dijadikan rujukan penelitian.

3. Kesediaan dan kesiapan peneliti dalam mengkaji Khittah Pesantren Perspektif Pemikiran KHR As’ad Syamsul Arifin secara teoritik dan konseptual.

4. Adanya kesediaan dosen pembimbing untuk memberikan arahan pemikiran dan motivasi dalam penyusunan skripsi.

5. Adanya manfaat bagi peneliti ataupun pihak lain.

C. Penegasan Judul

Untuk menghindari kesalah pahaman penafsiran terhadap judul penelitian yang akan dilaksanakan, berikut ini akan ditegaskan makna setiap kata dalam judul penelitian antara lain :

1. Khittah

Khittah, menurut Partanto dan Barry, diartikan sebagai “Garis” (1994: 335).

2. Pesantren

Lembaga pendidikan Islam klasik yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman dengan pola tradisional (Dhofier,1994: 16-19).

3. K.H.R. As’ad Syamsul Arifin

Seorang ulama, pengsuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur (periode 1954-1990)

Dalam hal ini peneliti akan mendiskripsikan gagasan khittah pesantren dalam perspektif pemikiran K.H.R. As’ad Syamsul Arifin sebagai bahan kajian untuk memberikan tawaran konsep dalam membaca realitas pesantren saat ini. Penelitian ini dimaksudkan untuk menghadirkan kembali pola pengembangan pesantren di masa wali songo sebagai salah satu acuan dalam melaksanakan gerakan pengembangan pesantren di era modern saat ini.

Peneliti melihat adanya pengingkaran terhadap semangat pengembangan pesantren di masa wali songo. Hal ini bisa kita lihat dari dua macam pola pendekatan yang laksanakan oleh pesantren. Pertama, pesantren yang menyatakan dirinya sebagai lembaga pendidikan salaf murni ternyata cenderung menutup diri dari semangat peradaban yang semakin berkembang, seperti halnya sistem pengembangan pendidikannya yang memandang tabu terhadap sistem pendidikan ala barat (sekolah formal). Mereka justru bertahan dengan sistem pengembangan pendidikan klasik (sorogan dan bandongan). Sehingga dengan pola ini pesantren cenderung tertinggal dalam melakukan respon berbagai tantangan zaman.

Kedua, pesantren yang melakukan reintegrasi sistem pendidikan salaf dan sistem pendidikan modern, dimana dari hasil elaborasi ini sistem pendidikan salaf cenderung di nomor duakan. Sehingga, pesantren akan tampil seperti halnya lembaga pendidikan formal non-pesantren tanpa diiringi dengan konsistensi terhadap nilai-nilai salafiyah.

pendekatan diatas sangat bertolak belakang dengan pola pengembangan pesantren di era wali songo. Sebagaimana bisa kita baca pada Kedua pola tulisan di atas, wali songo telah mampu membangun sistem pendidikan pesantren yang betul-betul responsif dalam menyikapi berbagai problematika sosial dengan tetap kokoh dalam berpegang pada prinsip-prinsip salafiyah yakni; keikhlasan, kemandirian, kederhanaan, kebebasan, dan ukhuwah Islamiyah (Tolkhah dan Barizi, 2004: 55-56).

D. Perumusan Masalah

Untuk merumuskan permasalahan tersebut, perlu adanya sistematika analitis untuk mencapai sasaran yang menjadi objek kajian, sehingga pembahasan akan lebih terarah pada pokok masalah. Hal ini dimaksudkan agar terhindar dari pokok masalah dengan pembahasan yang tidak ada relevansinya. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Fokus Masalah

1. Bagaimana konsep khittah pesantren perspektif K.H.R. As’ad Syamsul Arifin?

2. Bagaimana peran pesantren sebagai lembaga pendidikan, lembaga sosial, dan lembaga dakwah dalam perspektif khittah pesantren K.H.R. As’ad Syamsul Arifin?

3. Bagaimanakah urgensi pesantren dalam melakukan transformasi sosial perspektif K.H.R. As’ad Syamsul Arifin?

E. Tujuan Penelitian

Secara substansial tujuan dari penelitian adalah menyelesaiakan masalah-masalah yang telah dirumuskan sebelumnya (STAIN, 2002: 10). Maka dari perumusan itulah akan terdapat sesuatu yang menjadi rumusan dari hasil sebuah penelitian. Secara umum, karena objek penelitian adalah tentang pemikiran K.H R. As’ad Syamsul Arifin tentang khittah pesantren, maka yang menjadi tujuan adalah untuk mengetahui dan memahami serta mendiskripsikan gagasan tersebut, sehingga menghasilkan diskripsi dari berbagai rumusan masalah yang diangkat.

Dalam hal ini tujuan penelitian akan diarahkan pada ke-sesuaian antara tujuan dengan upaya pemecahan problematika yang telah dirumuskan. Yang dimaksudkan untuk menghindari penyimpangan dalam menciptakan problem solving yang telah disistematiskan dengan tujuan penelitian (STAIN, 2002: 10), maka tujuan penelitian kami dimaksudkan sebagai berikut:

1. Untuk mendiskripsikan konsep khittah pesantren perspektif K.H.R. As’ad Syamsul Arifin

2. Untuk mendiskripsikan peran pesantren sebagai lembaga pendidikan, lembaga sosial, dan lembaga dakwah dalam perspektif khittah pesantren K.H.R. As’ad Syamsul Arifin

3. Untuk mendiskripsikan urgensi pesantren dalam melakukan transformasi sosial perspektif K.H.R. As’ad Syamsul Arifin

F. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat, baik kepada peneliti, pihak STAIN Jember, pengelola pesantren, dan masyarakat pada umumnya. Adapun manfaat penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagi Peneliti

1. Untuk menambah wawasan tentang konsep khittah pesantren dalam prespektif K.H R As’ad Syamsul Arifin.

2. Untuk mengembangkan pengetahuan tentang pendidikan Islam khususnya pesantren

3. Sebagai modal dasar untuk melakukan penelitian dibidang pesantren pada tataran lebih lanjut

2. Bagi Lembaga STAIN Jember

1. Untuk menambah kepustakaan Tarbiyah

2. Sebagai tolak ukur interdisipliner keilmuan dan kualitas mahasiswa dalam bidang pendidikan.

3. Bagi Pengelola Pesantren

1. Menjadi bahan pijakan dan landasan dalam merumuskan format pesantren yang peka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun tetap tidak meninggalkan prinsip-prinsip salafiyah.

2. Mengkaji dan memahami pemikiran KHR As’ad Syamsul Arifin khususnya dalam masalah khittah pesantren.

3. Menjadi bahan konsep untuk melakukan perbandingan antara konsep pesantren saat ini dengan tawaran konsep pesantren dalam perspektif K.H.R. As’ad Syamsul Arifin

4. Bagi Masyarakat

1. Untuk memberikan kontribusi pemikiran bagi masyarakat tentang pentingnya menjaga nilai-nilai salafiyah pesantren.

2. Membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya khittah pesantren.

3. Untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang urgensi pesantren dalam melakukan transformasi sosial

G. Metode Dan Prosedur Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Hal ini merupakan salah satu jenis metode yang menitik beratkan pada penalaran yang berdasarkan realitas sosial secara objektif dan melalui paradigma fenomenologis, artinya metode ini digunakan atas tiga pertimbangan:

1. Untuk mempermudah pemahaman realitas ganda

2. Menyajikan secara hakiki antara peneliti dan realitas

3. Metode ini lebih peka dan menyesuaikan diri pada bentuk nilai yang dihadapi. (Moleong, 2007:5)

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah liberary research (kajian pustaka), yaitu jenis penelitian yang menjadikan data-data kepustakaan sebagai teori untuk dikaji dan di telaah dalam memperoleh hipotesa dan konsep untuk mendapatkan hasil yang objektif. Dengan jenis ini informasi dapat diambil secara lengkap untuk menentukan tindakan ilmiah dalam penelitian sebagai instrumen penelitian memenuhi standar penunjang penelitian (Subagyo, 1999: 109).

Peneliti dalam jenis penelitian ini mengambil asumsi-asumsi yang di dasarkan pada data-data yang mendukung untuk memperoleh wawasan kreatif dan imajinatif. Hal ini sebagai bentuk komparasi terhadap satu konsepsi pemikiran dengan yang lain secara produktif dengan tidak meninggalkan dasar ilmiah.

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu jenis pendekatan penelitian yang tidak menggunakan angka (Moleong, 2007: 2), atau diistilahkan dengan penelitian ilmiah yang menekankan pada karakter alamiah sumber data. Sedangkan menurut Bagdan dan Taylor dalam buku panduan STAIN “pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati” (2002:19)

Metode kualitatif digunakan berdasarkan pertimbangan apabila terdapat realitas ganda lebih memudahkan penelitian dan dengan metode ini penajaman pengaruh dan pola nilai lebih peka disesuaikannya. Sehingga objek penelitian dapat dinilai secara empirik melalui pemahaman intelektual dan argumentasi logis untuk memunculkan konsepsi yang realistis (Moleong, 2007: 5). Berbeda dengan penelitian kuantitatif yang bekerja berdasarkan pada perhitungan prosentasi, rata-rata dan perhitungan statistik lainnya.

3. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang bersifat tekstual berupa konsep dan tulisan. Aspek-aspek yang akan diteliti adalah seputar apa dan bagaimana definisi, konsep, persepsi, pemikiran dan argumentasi yang terdapat di dalam literatur yang relevan dengan pembahasan. Oleh karena itu, data yang akan diambil dan dikaji berasal dari data verbal yang abstrak kualitatif. Sedangkan data yang digunakan antara lain :

1. Data Primer

Sumber data primer, ialah sumber data yang diperoleh melalui pengamatan dan analisa terhadap literatur-literatur yang menjelaskan sejarah dan pemikiran K.H.R. As’ad Syamsul Arifin yang dipilih untuk dikaji kembali kesesuaiannya antara teks dengan realitas berdasarkan berbagai macam tinjauan ilmiah.

2. Data Sekunder

Sumber data sekunder, ialah sumber data yang di peroleh dari sumber-sumber bacaan yang mendukung sumber primer yang di anggap relevan, hal tersebut sebagai penyempurnaan bahan penelitian terhadap bahasan dan pemahaman peneliti

4. Metode Analisis Data

Analisa data secara umum di lakukan dengan cara menghubungkan apa yang di peroleh dari suatu proses kerja awal. hal ini di tujukan untuk memahami data yang terkumpul dari sumber, yang kemudian untuk di ketahui kerangka berfikir peneliti ( Bisri, 2004: 228).

Adapun metode analisis data yang di gunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Analisis Reflektif

Metode analisa data yang berpedoman pada cara berfikir reflektif. Pada dasarnya metode ini adalah kombinasi yang kuat antara berfikir deduktif dan induktif atau dengan mendialogkan data teoritik dan data empirik secara bolak balik kritis ( STAIN, 2002: 16).

Dalam metode analisa ini peneliti akan memecahkan masalah dengan pengumpulan data-data dan informasi untuk di bandingkan kekurangan dan kelebihan dari setiap literatur atau alternatif tersebut. sehingga pada penyimpulan akan di peroleh data yang rasional dan ilmiah.

2. Content Analisis

Content analisis atau disebut dengan analisis isi adalah suatu metode untuk memahami wacana atau problem dengan mencari inti dari wacana tersebut ( Musyarofah, 2002: 15). Maka berkenaan dengan pengolahan dan analisis data, content analisis di artikan pula dengan analisis data deskriptif berdasarkan isinya ( Suryabrata, 1998: 85).

Dalam metode ini, Peneliti akan menganalisa data berdasarkan fenomena yang terjadi dalam pendidikan pondok pesantren.

5. Validitas Data

Pengujian keabsahan data perlu dilakukan, untuk mengetahui tingkat kepercayaan yang dicapai dan menunjukkan derajat kepercayaan hasil temuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada kenyataan ganda yang sedang diteliti.

Adapun teknik validitas data yang kami gunakan adalah sebagai berikut:

1. Credibility, yaitu kriteria untuk memenuhi nilai kebenaran dari data dan informasi yang dikumpulkan;

2. Dependability, kriteria ini dapat digunakan untuk menilai apakah proses penelitian kualitatif bermutu atau tidak, dengan melacak apakah peneliti cukup hati-hati dalam mengkonseptualisasikan rencana penelitiannya, pengumpulan dan penginterpretasian datanya.

3. Confirmability, yakni kriteria yang digunakan untuk menilai bermutu atau tidaknya hasil penelitian.

H. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Untuk mensistematiskan pembahasan berikut ini adalah sistematika pembahasan, antara lain :

1. BAB I, Memuat tentang latar belakang dilaksanakannya penelitian ini beserta perangkat prosedur dan metode penelitian.

2. BAB II, Memuat tentang kerangka teoritik yang selanjutnya menjadi kerangka kerja dalam perumusan konsep pemikiran.

3. BAB III, membahas tentang; pertama, pemikiran K.H.R. As’ad Syamsul Arifin tentang khittah pesantren, kedua, peran pesantren sebagai lembaga pendidikan, lembaga dakwah, dan lembaga sosial perpektif K.H.R. As’ad Syamsul Arifin, ketiga, urgensi pesantren dalam melakukan transformasi sosial masyarakat dalam perpektif K.H.R. Asad Syamsul Arifin.

4. BAB IV, Memuat kesimpulan dan saran tentang khittah pesantren perspektif K.H.R. As’ad Syamsul A

BAB II

KERANGKA TEORITIK

1. Profil Pesantren

Sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, pesantren telah melalui berbagai peradaban hingga sampai pada zaman modern di abad 21 saat ini. Sebagai lembaga yang bergerak dalam hal keilmuan khususnya ilmu agama, pesantren telah menunjukkan eksistensinya sebagai lembaga yang tetap kokoh dalam berpegang teguh pada nilai-nilai keagamaan yang bersumber pada Al-Qur’an, Hadits, dan Qoul Ulama (yang terepresentasikan dalam kitab kuning). Oleh karena itu pesantren memiliki nilai-nilai yang tidak sama dengan lembaga pendidikan lainnya.

Untuk mendukung kelangsungan pesantren, berikut akan dijelaskan berbagai hal yang berhubungan dengan pesantren, terutama mengenai unsur-unsur, fungsi, prinsip-prinsip, dan ciri-ciri pesantren, sebagai berikut:

1. Sejarah dan Perkembangan Pesantren

Dilihat dari asal usulnya, ada dua pendapat mengenai asal usul pesantren. Pendapat Pertama mengatakan, bahwa pesantren berasal dari tradisi pra Islam. Sementara Pendapat Kedua mengatakan, bahwa pesantren adalah model pendidikan yang berasal dari tradisi Islam.

Pendapat A.H Johns dan C.C. Berg yang menganalisis dari segi semantik kebahasaan, dapat mewakili salah satu pendapat pertama. “istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, istilah tersebut berasal dari istilah sashtri yang dalam bahasa india berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Kata sashtri yang beasal kata sashtra yang berarti buklu-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Ini menunjukkan secara semantik pesantren lebih dekat ke tradisi pra Islam atau lebih tepatnya India (C.C. Berg, dalam Khozin, 2006: 96).

Mahmud Junus cenderung kepada pendapat yang kedua. Dia menyatakan bahwa asal-usul pendidikan yang dipergunakan dalam pesantren ternyata dapat ditemukan di Baghdad ketika menjadi pusat pemerintahan Islam. Tradisi menyerahkan tanah oleh negara bagi pendidikan agama, dapat ditemukan dalam sistem wakaf dalam Islam ( Muhammad Yunus, dalam Khozin, 2006: 98).

Sementara Tolkhah dan Barizi juga menyebutkan dua pendapat tentang munculnya pesantren. Pertama, pesantren ada sejak abad XVI M yang ditandai dengan adanya karya-karya Jawa klasik seperti Serat Cebolek, dan Serat Centini yang mengungkapkan bahwa sejak abad ke XVI M di Indonesia telah banyak dijumpai beberapa lembaga yang mengajarkan berbagai kitab Islam klasik dalam bidang fiqh, aqidah, tasawuf, dan menjadi pusat-pusat penyiaran Islam.

Pendapat kedua menyatakan, bahwa pesantren muncul sebagai ‘perdikan’ sistem pendidikan Hindu Budha pada abad ke XVIII M dan mengalami perkembangan secara independen pada abad ke XIX M, dan sejak abad ke XX M model pendidikan pesantren mulai dilakukan pembaruan diberbagai segi sebagai konsekuensi dari globalisasi dan bahkan dewasa ini pesantren mulai dilirik sebagai lembaga pendidikan alternatif bagi pembangunan bangsa kedepan. (Tolkhah dan Barizi, 2004: 52)

Istilah pesantren memang bukan berasal dari Arab tapi istilah pondok berasal dari Arab; yaitu funduk yang berarti pesanggrahan atau penginapan bagi orang yang bepergian. Agaknya terlalu simplistis kalau istilah yang bukan berasal dari Arab, lalu dikatakan bukan berasal dari Islam seperti pesantren ini.

Pesantren merupakan lembaga keagamaan yang sarat nilai dan tradisi luhur yang telah menjadi karateristik pesantren pada hampir perjalan sejarahnya secara potensial, karateristik tersebut memiliki peluang cukup besar untuk dijadikan dasar pijakan dalam menyikapi arus globalisasi dan persoalan-persoalan lainnya yang menghadang pesantren secara khusus, dan masyarakat luas secara umum.

Persoalan kian menjadi rumit ketika globalisasi telah menjadi realitas keseharian yang melekat dan harus dihadapi umat manusia, termasuk pesantren dan masyarakat di negeri ini. Terlepas dari mimipi-mimpi indah yang ditawarkannya, gobalisasi telah mampu menampilkan dirinya dalam bentuk kolonialisme berwajah baru.

Secara ekonomi, ia merujuk pada re-organisasi sarana-sarana produksi, penetrasi industri lintas negara, perluasan pasar uang, jajahan barang-barang konsumsi, bursa tenaga kerja, dan penggusuran pemukiman penduduk secara besar-besaran. (Francis Wahono, dalam Abd A’la, 2006:7)

Sedangkan secara politik dan ideologi, globalisasi berarti liberalisasi perdagangan dan investasi, privatisasi, yang merupakan adopsi sistem politik demokrasi dan otonomi daerah (otoda). Dengan kata lain, globalisasi adalah neo liberalisme yang membiarkan pasar bekerja secara bebas. (Wahono, 2003: 146-148 )

Pesantren dengan teologi yang dianutnya ditantang untuk meniyikapi globalisasi secara kritis dan bijak. Pesantren harus mampu mencari solusi yang benar-benar mencerahkan. Sehingga, pada satu sisi, dapat menumbuhkembangkan kaum santri yang memiliki wawasan luas yang tidak gamang menghadapi modernitas dan sekaligus tiddak kehilangan identitas dan menjadi dirinya. Dan pada sisi yang lain pesantren dapat mengantarkan masyarakat menjadi komunitas yang sadar akan persoalan yang dihadapi dan mampu mengatasinya dengan penuh kemandirian dan keadaban.

Dewasa ini, perkembangan kuantitas pesantren semakin pesat hal ini dibuktikan dengan data yang disampaikan Van Der Chys pada tahun 1831 saja, di beberapa kabupaten di pulau Jawa terdapat 1853 pesantren dengan jumlah santri 16.556. Kemudian pada tahun 1942 jumlah pesantren dan madrasah berjumlah 1871 dengan jumlah santri 139.415. Pesantren tumbuh berkembang seiring dengan kebutuhan masyarakat yang kompleks akan nilai-nilai agama (Van Der Chys, dalam Dhofier, 1994: 35).

Perkembangan kuantitas pesantren juga disertai dengan berbagai pembenahan untuk meningkatkan mutu kualitas pendidikannya. Berbagai sekolah-sekolah formal mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi didirikan. Hal ini dimaksudkan untuk merespon tuntutan zaman. Sehingga, berbagai pesantren malakukan kompetisi dalam menyediakan lembaga-lembaga pendidikan untuk merespon kebutuhan tersebut. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya lembaga-lembaga pendidikan pesantren yang memiliki perguruan tinggi dari tingkat diploma sampai dengan pasca sarjana.

Disatu sisi, perkembangan ini aka bernilai positif, karena kebutuhan santri terhadap lembaga pendidikan formal akan terpenuhi. Sementara disisi yang lain, identitas pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan dan mengembangkan ilmu-ilmu agama akan tenggelam. Hal ini disebabkan nilai-nilai pendidikan yang ditawarkan pesantren akan lebih terfokus pada lembaga-lembaga pendidikan formal yang ada, mengingat tuntutan kebutuhan pasar lebih cenderung pada legalitas formal yang disediakan oleh lembaga pendidikan formal secara umum.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam sejatinya harus menjadi sumber kearifan dan memiliki daya resistensi tinggi terhadap segala proses pemudaran nilai-nilai moral lambat laun mulai terperangkap kedalam kehidupan yang dehumanistik, yang berlawanan dengan sifat manusia yang fitri.

Eksistensi pendidikan pondok pesantren di era modern ini, harus berdasar pada tiga hal. Pertama, pesantren harus benar-banar menjadi pusat tafaqquh fiddin. Kedua, pesantren harus menjadi pusat lembaga pendidikan dan pengembangan IPTEK, dengan cara meningkatkan apresiasi dan SDM para santri terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi mutahir. Ketiga, pesantren harus menjadi pusat dakwah dan pengembangan masyarakat baik dalam konteks nasional maupun global. (Basyuni, 2007: 219)

Tidak sedikit kontribusi pesantren dalam pembangunan nation state selama ini. Pertama, pada masa penjajahan pesantren memainkan peran perlawanan dan mengambil strategi Uzlah sebagai strategi perlawanan dan sekaligus pertahanan dari penjajah. Kedua, pada masa persiapan kemerdekaan, pesantren berperan sebagai pusat perjuangan dan pertahanan gerilyawan seperti Hizbullah dan Sabilillah.

Pesantren di masa kolonial, tampaknya dalam konteks ini, pesantren lebih mempunyai peran dan fungsinya di masyarakat. Bahkan pesantren menjadi motor penggerak segala bentuk perubahan dan protes terhadap pemerintahan Hindia Belanda pada saat itu yang masih dan sedang berkuasa. Sebaliknya, perguruan tinggi pada masa-masa awal kolonial belumlah bisa dikatakan mempunyai sesuatu hal yang bisa dikatakan berarti ketika itu. Karena, memang ketika itu perguruan tinggi juga belum lahir.

Pada masa-masa kolonial tersebut, hegemoni pesantren dan pembelajaran ilmu-ilmu agama sangatlah besar dan menjadi salah satu kebanggaan umat muslim ketika itu. Karena dengan begitu, mereka akan bisa belajar langsung kepada tokoh-tokoh Islam terkemuka pada saat itu. Di mana tokoh-tokoh Islam pada saat itu merupakan pujangga-pujangga terkemuka di dunia Islam Nusantara, bahkan internasional. Jika kita melihat ke belakang sekitar abad ke-17-18 maka, kita akan melihat bagaimana peran seorang ulama seperti syekh Yusuf al-Maqassari, Abdurrauf Singkel, Syamsudin as-Sumaterani, Nuruddin ar-Raniri dan yang lainnya dalam memimpin umatnya dan memberikan pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam kepada umatnya. (Sonhaji, 2004: artikel pendidikan www. Google. com)

Lebih jauh ketika perkembangan tradisi keilmuan Islam mengalami dinamika yang cukup pesat. Apalagi dengan dibukanya terusan Suez pada abad ke-19 (1870) (Steenbrink, dalam Sonhaji, 2004: artikel pendidikan WWW. Google. Com). Maka, semakin banyaklah umat muslim Indonesia yang mondok tidak hanya ke seluruh pesantren-pesantren yang ada di Nusantara, walaupun pada saat itu belum ada istilah atau nama pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam---tapi lebih jauh lagi hingga ke Mekah dan Madinah. Tetapi, jika yang ada adalah lembaga pendidikan yang mengajarkan dan mengkaji ilmu-ilmu keislaman tentu saja sudah ada. Karena hal itu bisa terlihat dari banyaknya kiai atau ulama-ulama yang lahir ketika itu--Dan tentu saja pada abad ke-19, jumlah pesantren sudah tidak sedikit jumlahnya.

Lebih dari itu, pada abad ini pula para santri semakin bertambah banyak yang melanjutkan studi keislamannya di kota Mekah sekaligus sambil menjalankan ibadah haji. Apalagi pada saat itu di kota Mekah banyak sekali para santri yang berasal dari Nusantara telah menjadi ulama-ulama yang dikenal akan kapasitas keilmuannya bahkan kealimannya.

Keberadaan pesantren sebagai sebuah lembaga yang ikut berperan dalam mendidik dan mencerdaskan anak bangsa kurang mendapat apresiasi dari pemerintah. Terutama pada saat para pemegang kebijakan negara (dalam bidang pendidikan) menggunakan paradigma “developmentalis”. Paradigma ini adalah wujud dari buah modernisme dan kapitalisme. Karena itu pondok pesantren dianggap sebagai komunitas yang terbelakang, tidak modern, tradisional, hingga kemudian dikesampingkan.

Ketika orde baru berkuasa, dimunculkan kebijakan “modernisasi pesantren” yang berorientasi mengubah tradisionalitas dan ketertinggalan pesantren agar seirama dengan paradigma pembangunan negara. Dalam kenyataannya, selain memporakporandakan konstruksi fisik dan program pengembangan pesantren, proyek ini juga merusak relung-relung sistem pendidikannya. Tawaran yang disodorkan pada waktu itu adalah masuknya pendidikan sekolah dan madrasah dengan suatu jaminan fasilitas tertentu. ( Basyuni, 2007: 220)

Pondok pesantren sebagai sub-kultur, sejak itu menghadapi tantangan yang tidak bisa diremehkan. Otonomi pendidikan pondok pesantren yang dibanggaka dengan tradisi pesantren (salafisme) juga harus mengalami ujian yang sangat dilematis. Dialektika antara mempertahankan watak tradisionalisme dan modernisme sungguh dialami oleh banyak pondok pesantren.

Gejala yang tampak pada akhir-akhir ini menunjukkan bahwa masyarakat pesantren mulai terbiasa dengan sikap dan perilaku yang pragmatis dan formalistik. Nilai-nilai yang dulu dijunjung tinggi dalam dunia pesantren, seperti keikhlasan, semangat keilmuan yang tinggi, kesederhanaan, dan kearifan sosial, kini mulai menghilang dalam tataran praksis dari kehidupan masyarakat pesantren. Untuk itu kehadiran pesantren dengan semangat wali songo telah menjadi harapan ditengah gersangnya nilai salafiyah pesantren.

2. Unsur-Unsur Pesantren

Pondok, masjid, santri, kitab kuning, dan kiai merupakan lima dasar dari tradisi pesantren. Ini berarti bahwa suatu lembaga pendidikan keagamaan yang telah berkembang hingga memiliki kelima elemen tersebut, akan disebut sebagai pesantren. Yang pembahasannya sebagai berikut:

1. Pondok. Pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana para santri tinggal bersama dan belajar bersama dibawah asuhan kiai. Asrama tersebut biasanya berada dalam lingkungan kompleks pesantren.

2. Masjid. Merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dengan pesantren. Masjid juga dianggap sebagai tempat yang tepat untuk mendidik para santri dalam beribadah dan memperdalam ilmu agama.

3. Santri. Merupakan elemen penting dalam kelangsungan pesantren. Biasanya santri terbagi atas santri mukim (santri yang menetap di asrama pesantren) dan santri kalong (santri yang berasal dari desa di tempat pesantren berada, mereka tidak menetap di asrama).

4. Kitab Kuning/Kitab Klasik. Kitab-kitab yang diajarkan di pesantren tergolong kedalam: Nahwu dan Sharaf, Fiqh, Ushul Fiqh, Hadits, Tafsir, Tauhid, Tasawuf dan Etika, Tarikh dan juga Balaghah. Kitab kitab ini adalah materi pokok dalam kurikulum pesantren.

5. Kiai. Dalam kosa-kata Jawa, gelar kiai dipakai untuk tiga jenis yang berbeda. Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat, misalnya “Kiai Garuda Kencana”, sebutan kereta emas yang ada di keraton yogyakarta. Sebagai gelar kehormatan untuk orang tua pada umumnya. Umumnya gelar kiai dilekatkan pada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren, dan mengajar kitab-kitab klasik. Selain itu gelar kiai juga dipakai untuk sebutan orang yang alim (orang yang sangat luas pengetahuan keagamaannya). (Dhofier, 1994: 44-55)

3. Fungsi Pesantren

Azyumardi Azra (dalam Ridlo dan Sulthon, 2006: 13-14) menawarkan tiga fungsi pesantren, yaitu:

1. Transmisi dan transfer ilmu-ilmu Islam.

2. Pemeliharaan tradisi Islam

3. Reproduksi ulama

Sebagai lembaga sosial pesantren telah menyelenggarakan pendidikan formal baik sekolah agama (madrasah) ataupun sekolah umum. Disamping itu, pesantren juga menyelenggarakan pendidikan non formal berupa madrasah diniyah yang mengajarkan materi keagamaan, selain itu pesantren juga mengadakan forum kajian keislaman yang terkonsentrasi pada kajian kitab kuning dengan berbagai disiplin ilmu agama yang telah disebutkan diatas.

Dalam pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan diatas, pesantren mampu menampilkan eksistensinya sebagai lembaga solidaritas sosial dengan menampung santri dari berbagai lapisan masyarakat muslim dan memberikan pelayanan yang sama kepada mereka, tanpa membedakan latar belakang ataupun tingkat sosial ekonomi mereka.

Disamping itu, kharisma seorang kiai pesantren juga mampu menjadi figur yang cukup efektif dalam perannya sebagai perekat hubungan dan pengayom masyarakat, baik pada tingkat lokal sampai nasional. Para kiai juga sering mengadakan majelis taklim yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat, baik yang diadakan atas inisiatif pesantren juga seringkali berasal dari inisiatif masyarakat.

Dengan berbagai peran potensial yang dimainkan pesantren, dapat dikemukakan bahwa pesantren memiliki tingkat integritas yang tinggi dengan masyarakat sekitarnya, sekaligus menjadi rujukan atas berbagai persoalan masyarakat. Fungsi-fungsi ini akan tetap terpelihara dan efektif manakala para kiai pesantren dapat menjaga independensinya dari berbagai intervensi di luar pesantren.

Fungsi pesantren telah mengalami berbagai perkembangan. Visi, posisi, dan persepsinya terhadap dunia luar telah berubah. Pesantren pada pertamanya (masa wali songo) berfungsi sebagai pusat pendidikan dan penyiaran agama Islam. Kedua fungsi ini bergerak saling menunjang. Pendidikan dapat dijadikan bekal dalam memngumandangkan dakwah, sedangkan dakwah bisa dimanfaatkan sebagai sarana dalam membangun sistem pendidikan (Qomar, 2007: 22-26).

Dengan kata lain, sebenarnya fungsi edukatif pesantren pada masa wali songo adalah sekedar membawa misi dakwah. Misi dakwah Islamiyah inilah yang mengakibatkan terbangunnya sistem pendidikan. Pada masa wali songo muatan dakwah lebih dominan daripada muatan edukatif. Karena pada masa tersebut produk pesantren lebih diarahkan pada kaderisasi ulama dan muballigh yang militan dalam menyiarkan ajaran Islam.

Sebagai lembaga dakwah, pesantren berusaha mendekati masyarakat. Pesantren bekerja sama dengan masyarakat dalam mewujudkan pembangunan. Sejak awal, pesantren terlibat aktif dalam mobilisasi pembangunan sosial masyarakat. Warga pesantren telah terlatih melaksanakan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat, sehingga terjalin hubungan yang harmonis antara santri dan masyarakat, ataupun antara Kiai dan pemuka desa.

A. Wahid Zaini menegaskan, bahwa disamping lembaga pendidikan, pesantren juga sebagai lembaga pembinaan moral baik dikalangan santri maupun masyarakat. Kedudukan ini memberi isyarat bahwa penyelenggaraan keadilan sosial melalui pesantren lebih banyak menggunakan pendekatan kultural (A. Wahid Zaini, dalam Qomar, 2007: 23).

Pesantren juga berperan dalam berbagai bidang lainnya secara multidimensional, sebagai upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Hanya saja dalam kapasitas tradisionalnya, pesantren sering diidentifikasi memiliki tiga peran dalam masyarakat Indonesia; sebagai pusat berlangsungnya transmisi ilmu-ilmu Islam tradisional, sebagai penjaga dan pemelihara keberlangsungan Islam tradisional, dan sebagai pusat reproduksi ulama. Namun dalam realitasnya, pesantren mampu menunjukkan dirinya yang betul-betul eksis dalam setiap problematika sosial mayarakat.

4. Tujuan Pesantren

Tujuan pesantren sebagai berikut; Tujuan umum pesantren adalah membina warga negara agar berkepribadian muslim sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam, dan menanamkan rasa keagamaan tersebut pada semua segi kehidupan. Adapun tujuan khusus pesantren adalah sebagai berikut (Qomar, 2007: 6-7):

1. Mendidik santri untuk menjadi seorang muslim yang bertakwa kapada Allah SWT, berakhlaq mulia, memiliki kecerdasan, berketerampilan, serta sehat lahir dan batin.

2. Mendidik santri untuk menjadikan manusia muslim selaku kader-kader ulama dan muballigh yang berjiwa ikhlas, tabah, tangguh, wiraswasta dalam mengamalkan ajaran-ajaran Islam secara utuh dan dinamis.

3. Mendidik santri untuk memperoleh kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya dan bertanggungjawab kepada pembangunan bangsa dan negara.

4. Mendidik tenaga-tenaga penyuluh pembangunan mikro (keluarga) dan regional (masyarakat dan lingkungannya).

5. Mendidik santri agar menjadi tenaga-tenaga yang cakap dalam berbagai sektor pembangunan, khususnya pembangunan mental spiritual.

6. Mendidik santri untuk meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat dalam rangka usaha pembangunan bangsa.

Tujuan pendidikan pesantren adalah untuk menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, berakhlaq mulia, bermanfaat dan berkhidmat pada masyarakat,dengan cara menjadi abdi masyarakat. Sebagaimana yang telah dicontohkan Nabi Muhammad SAW.

Tujuan pendidikan pesantren juga diarahkan pada pengkaderan ulama yang mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam berkepribadian, menyebarkan agama, menegakkan kejayaan Islam dan umat ditengah-tengah masyarakat (Izzul Islam wa al-Muslimin), serta mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian manusia.Dari beberapa tujuan tersebut, dapat disimplkan bahwa tujuan pesantren adalah membentuk kepribadian muslim yang menguasai ajaran-ajaran Islam dan mengamalkannya, sehingga bermanfaat bagi agama, bangsa dan negara.

5. Prinsip-Prinsip Pesantren

Komunitas keagamaan pesantren dilandasi oleh keinginan ber-tafaqquh fiddin (mendalami/mengkaji agama) dengan kaidah:

ÇáãÍÝÙÉ Úáí ÇáÞÏíã ÇáÕÇáÍ æÇáÇÎÖ ÈÇáÌÏíÏÇáÇÕáÇÍ

Memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik”.

Keinginan dan kaidah ini merupakan nilai pokok yang melandasi kehidupan dunia pesantren. Eksistensi pesantren menjadi kokoh karena dijiwai oleh apa yang dikenal dengan panca jiwa pesantren (Tolkhah dan Barizi, 2004: 55-56), yaitu:

1. Keikhlasan. Yaitu, jiwa kepesantrenan yang tidak didorong oleh ambisi apapun untuk memperoleh keuntungan-keuntungan tertentu, khususnya secara material, melainkan semata-mata karena beribadah kepada Allah.

2. Kesederhanaan. Kata “sederhana” disini bukan berarti pasif, melarat, miskin, dan menerima apa adanya, tetapi mengandung unsur kekuatan dan ketabahan hati, kemampuan mengendalikan diri, dan kemampuan menguasai diri dalam setiap kesulitan. Dibalik jiwa kesederhanaan ini tersimpan jiwa yang besar, berani, maju, dan pantang menyerah dalam menghadapi dinamika sosial secara kompetitif.

3. Kemandirian. Kemandirian disini bukanlah kemampuan dalam mengurusi persoalan-persoalan internal pesantren, tetapi kesanggupan membentuk kondisi pesantren sebagai institusi pendidikan Islam yang merdeka dan tidak menggantungkan diri kepada bantuan dan pamrih dari pihak lain. Pesantren dibangun diatas pondasi kekuatan sendiri sehingga ia merdeka, otonom dan mandiri.

4. Bebas. Jiwa yang bebas ini mengandaikan civitas sebagai manusia yang kokoh dalam memilih jalan hidup dan masa depannya dengan jiwa besar dan sikap optimis menghadapi segala problematika kehidupan dengan nilai-nilai Islam. Kebebasan disini juga berarti sikap kemandirian yang tidak berkenan didekte oleh pihak luar dalam membangun orientasi sistem kepesantrenan dan kependidikan.

5. Ukhuwah Islamiyah. Merupakan manivestasi dalam keseharian civitas pesantren yang bersifat dialogis, penuh keakraban, penuh konpromi, dan toleransi. Jiwa ini memotori suasana damai, sejuk, senasib, saling membantu, dan saling menghargai bahkan saling memberi support dalam pembentukan dan pengembangan idealisme santri.

6. Ciri-Ciri Pesantren

Ciri-ciri pesantren yang masih berpegang teguh pada nilai-nilai salafiyah dapat di defininisikan sebagai berikut (Sulthon dan Ridlo, 2006: 12-13):

1. Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya. Kiai sangat memperhatikan santrinya. Hal ini memungkinkan karena tinggal dalam satu kompleks dan sering bertemu baik disaat belajar maupun dalam pergaulan sehari-hari. Bahkan sebagian santri diminta menjadi asisten kiai (Khadam).

2. Kepatuhan santri kepada kiai. Para santri menganggap bahwa menentang kiai, selain tidak sopan juga dilarang agama. Bahkan tidak memperoleh berkah karena durhaka kepada sang guru.

3. Hidup hemat dan sederhana benar-benar diwujudkan dalam lingkungan pesantren. Hidup mewah hampir tidak didapatkan disana.

4. Kemandirian amat terasa di pesantren. Para santri mencuci pakaian sendiri, membersihkan kamar tidurnya, bahkan sampai memasak sendiri.

5. Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan (Ukhuwwah Islamiyyah) sangat mewarnai pergaulan di pesantren. Ini disebabkan selain kehidupan yang mereta dikalangan santri, juga karena mereka harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang sama, seperti shalat berjamaah, membersihkan masjid, dan belajar bersama.

6. Disiplin sangat dianjurkan. Untuk menjaga kedisiplinan ini pesantren biasanya memberikan sanksi-sanksi edukatif.

7. Keprihatinan untuk mencapai tujuan mulia. Hal ini sebaai akibat kebiasaan puasa sunnah, dzikir, dan i’tikaf, shalat tahajjud, dan bentuk-bentuk riyadlah kainnya atau menauladani kiainya yang terbiasa dengan kehidupan zuhud.

8. Pemberian ijazah. Yaitu pencantuman nama dalam satu daftar mata rantai pengalihan pengetahuan yang diberikan kepada santri-santri yang berprestasi. Hal ini menandakan adanya restu kiai kepada santrinya untuk mengajarkan sebuah teks kitab yang dikuasai penuh.

B. Tradisi Salafisme Pesantren

Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang memiliki keunikan tersendiri ditengah hiruk-pikuk problematika pendidikan di tanah air, pesantren tetap survive dengan semangat tradisi yang mengagumkan. Di kalangan umat Islam tradisional pesantren masih dianggap sebagai model pendidikan yang menjanjikan bagi perwujudan masyarakat yang beradab. Karena eksistensi pesantren merupakan wadah bagi “manifestasi tradisi agung” (istilah Martin Van Bruinessen), yang dalam bahasa pesantren dikenal dengan al-Akhlaq al-Karimah.

Aplikasi dari nilai al-Akhlaq al-Karimah tercermin dari perilaku santri sehari-hari berupa sikap tawadlu’, sederhana, yang disertai dengan prrinsip hidup mandiri. Hal ini bisa dilihat dalam pola hidup santri sehari-hari, mereka hidup ditengah kumpulan santri-santri lain dengan fasilitas yang sangat sederhana, mulai dari alas tidur yang hanya berupa tikar (bahkan terkadang tidak memakai alas), menu makanan seadanya, dan mengerjakan semua kebutuhan sehari-hari (mencuci, memasak, dan membersihkan lingkungan pesantren) secara mandiri.

Bagi seorang santri, masuk pesanten merupakan ritus perjalanan antara masa remaja dan masa dewasa, dimana mereka tidak hanya memperoleh pendidikan Islam, tetapi juga mengembangkan kemandirian serta kematangan pribadi. Biasanya murid mulai masuk pesantren di awal usia belasan tahun, setelah mendapatkan pendidikan dasar keagamaan di desanya. (Fealy, 2007: 24)

Keberadaan pesantren kontras berbeda dengan praktek pendidikan pada intitusi pendidikan lainnya, sehingga dinamika sekaligus problematika yang muncul kemudian, juga menampilkan watak yang khas dan eksotik. Di era globalisasi sekarang ini, Alfin Toffler membayangkan akan terciptanya 'masyarakat informasi' (the informational society) yang sulit untuk dihindari oleh negara manapun di permukaan bumi ini, termasuk Indonesia. Sehingga, fenomena globalisasi yang begitu cepat mengalami akselerasi dalam pelbagai aspek, sebagai konsekuensi logis dari penerapan high tech (tekhnologi tinggi), menyebabkan bangsa Indonesia tergiring pada pola interaksi yang amat cepat dan massif dengan negara-negara lain di dunia. Dalam fase masyarakat informasi inilah, pesantren semakin menghadapi tantangan yang tidak ringan dan lebih kompleks ketimbang periode waktu sebelumnya (el-Chumaedi, 2002: Artikel Pesantren www. Plasa. com).

Di tengah pergulatan masyarakat informasional, pesantren dipaksa memasuki ruang kontestasi dengan institusi pendidikan lainnya, terlebih dengan sangat maraknya pendidikan berlabel luar negeri yang menambah semakin ketatnya persaingan mutu out put pendidikan. Kompetisi yang kian ketat itu, memposisikan institusi pesantren untuk mempertaruhkan kualitas out-put pendidikannya agar tetap unggul dan menjadi pilihan masyarakat, terutama umat Islam. Ini mengindikasikan, bahwa pesantren perlu banyak melakukan pembenahan internal dan inovasi baru agar tetap mampu meningkatkan mutu pendidikannya.

Persoalan ini tentu saja berkorelasi positif dengan konteks pengajaran di pesantren. Di mana, secara tidak langsung mengharuskan adanya pembaharuan (modernisasi) kalau boleh dikatakan demikian dalam berbagai aspek pendidikan di dunia pesantren. Sebut saja misalnya mengenai kurikulum, sarana-prasarana, tenaga kependidikan (pegawai administrasi), guru, manajemen (pengelolaan), sistem evaluasi dan aspek-aspek lainnya dalam penyelenggaraan pendidikan di pesantren.

Jika aspek-aspek pendidikan diatas tidak mendapatkan perhatian yang proporsional untuk segera dimodernisasi, atau minimalnya disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat (social needs and demand), tentu akan mengancam survival pesantren di masa depan. Masyarakat akan semakin tidak tertarik dan lambat laun akan meninggalkan pendidikan pesantren, kemudian lebih memilih institusi pendidikan yang lebih menjamin kualitas output-nya. Pada taraf ini, pesantren berhadap-hadapan dengan dilema antara tradisi dan modernitas.

Ketika pesantren tidak mau beranjak ke modernitas, dan hanya berkutat dan mempertahankan otentisitas tradisi pengajarannya yang khas tradisional, dengan pengajaran yang hanya bermuatan al-Qur'an dan al-Hadis serta kitab-kitab klasiknya tanpa adanya pembaharuan metodologis, maka selama itu pula pesantren harus siap ditinggalkan oleh masyarakat.

Pengajaran Islam tradisional dengan muatan-muatan yang telah disebutkan di atas, tentu saja harus lebih dikembangkan agar penguasaan materi keagamaan anak didik (baca: santri) bisa lebih maksimal, di samping juga perlu memasukkan materi-materi pengetahuan non-agama dalam proses pengajaran di pesantren.

Dengan begitu, pengembangan pesantren tidak saja dilakukan dengan cara memasukkan pengetahuan non-agama, melainkan agar lebih efektif dan signifikan, praktek pengajaran harus menerapkan metodologi yang lebih baru dan modern. Sebab, ketika didaktik-metodik yang diterapkan masih berkutat pada cara-cara lama yang ketinggalan zaman , maka selama itu pula pesantren sulit untuk berkompetisi dengan institusi pendidikan lainnya! Persoalannya, betulkah semua yang berwatak lama itu kurang baik

Terdapat beberapa kelemahan yang harus dibenahi dalam tradisi salaf antara lain ( Tolkhah dan Barizi: 2004: 83):

1. Kepemimpinan yang bersifat sentralistik dan hierarkis yang berpusat pada Kiai. Implikasi negatif yang akan muncul adalah ketika kepemimpininan pesantren mengedepankan otoritas sentral Kiai yang tidak lepas dari segala keterbatasan personal, diantaranya adalah ketidakmampuannya dalam merespon perkembangan masyarakat. Setidaknya, hall ini bisa dijelaskan ketika Kiai yang kebetulan tidak memiliki kemampuan untuk mengikuti dan menguasai perkembangan mutakhir lebih cenderung untuk menolak mengubah pesantrennya mengikuti tuntutan zaman.

2. Apek metodologi pembelajaran yang lebih menekankan kepada transmisi keilmuan klasik. Hal ini hanya akan melahirkan penumpukan keilmuan secara bulat dan tidak boleh dibantah, di mana santri menerima transmisi keilmuan klasik dari Kiai dalam bingkai taken for granted. Impilaksi dari model pembelajaran demikian adalah lesunya kreatifitas santri, karena sistem demikian lebih tepatnya disebut pengajian daripada pendidikan.

3. Dis-Orientasi pesantren yang kehilangan kemampuan untuk mendefinisikan dan memposisikan dirinya di tengah perubahan realitas sosial yang cukup cepat. Pesantren yang mengidentifikasi dirinya sebagai pesantren salaf akan mengalami kondisi dilematis ketika dihadapkan dengan perubahan sosial.

Dis-Orientasi keilmuan yang dikemas dengan salafiseme pesantren, hanya akan menyebabkan mandulnya liberalisasi pendidikan Islam sebagaimana semangat spiritualitas wahyu. Sejatinya, sistem pendidikan pesantren adalah pendidikan yang membebaskan dan mempropagandakan kebebasan. ﻻﺮﻫﺒﻨﻴﺖﻓﻲﺍﻻﺴﻼﻡ (tidak ada sistem kependetaan dalam Islam) merupakan spiritualitas liberal dalam menafsirkan makna-makna yang ada dalam wahyu Islam.

Sistem pembelajaran kitab-kitab klasik yang hanya berorientasi kepada fiqh-sufistik dengan membatasi diri pada madzhab-madzhab tertentu kiranya perlu direvisi. Pengajaran teologi yang hanya mengadopsi pemikiran madzhab Asy’ariyah dan Maturidiyah dengan kitab kajian yang tidak banyak memberikan gairah pemikiran perlu diperkaya dengan diskursus teologi-teologi kontemporer yang lebih kontekstual dan mempunyai relevansi riil terhadap kehidupan manusia.

Kajian teologi ini juga perlu disertai dengan pembelajaran ilmu logika (‘ilm al-manthiq) karena sifat dasar dari teologi sangat intelektualistik. Sebenarnya, dibeberapa pesantren hal ini sudah diajarkan, tetapi sifatnya lebih mekanis daripada strategi mendorong berkembangnya pemikiran rasional, karena ilmu logika diletakkan sebagai dasar pembangunan pemikiran rasional yang meisahkan pemikiran-pemikiran yang cacat dari yang benar, dan untuk menjelaskan bagaimana seharusnya pendahuluan itu disusun agar diperoleh hasil seperti yang diinginkan. Melalui ilmu logika, santri diharapkan mampu berfikir ilmiah dan rasional. Meskipun logika rasional dan ilmiah juga menyisakan banyak kekurangan dan berbagai keterbatasan yang selalu siap untuk direvisi sesuai perkembangan wawasan ilmu pengetahuan.

Dalam kontek fiqh, misalnya, pesantren salaf lebih menekankan kepada kitab-kitab karya ulama empat imam madzhab (Syafi’I, Maliki, Hanafi, Hambali) daripada kajian lintas madzhab dan aliran. Fath al-Qorib, Fath al-Mu’in, I’anah at-Thalibin, dan Kifayat al-Ahyar lebih akrab dipelajari santri daripada Bidayah al-Mujtahid karya Ibn Rusyd, Fiqh Ja’fari karya Imam Ja’far, Fiqh as-Sunnah karya Sayyid Sabiq, dan sebagainya.

Madzhab sunni merupakan madzhab satu-satunya yang harus dikaji, dan bahkan haram mempelajari fiqh Syi’ah. Sementara dalam bidang tasawuf, pemikiran al-Ghazali dan al-Junaid menjadi soko guru tasawuf akhlaqi yang mutlak untuk diteladani oleh para santri, dari pada Ibn Arabi, Ibn Sab’in, Al-Halllaj, Al-Busthami, Al-Sarraj, dan sebagainya, yang cenderung menekankan tasawuf falsafi. (Tolkhah dan Barizi, 2004: 88-89)

Dengan demikian, santri dibelenggu dengan figur Kiai sebagai soko guru keilmuan dan rasionalitas pemahaman yang mutlak diadopsi. Sehingga, santri menjadi manusia yang dikekang oleh berbagai tradisi yang kurang positif, seperti:

1. Santri berpandangan bahwa ilmu adalah hal yang sudah mapan dan hanya diperoleh melalui barokah Kiai.

2. Pandangan tidak kritis yang menyatakan bahwa segala sesuatu yangdiajarkan Kiai, Ustadz, dan kitab-kitab klasik adalah kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan apalagi dikritisi.

3. Metode pembelajaran dengan hafalan dan pemikiran tradisional yang diterapkan untuk semua Ilmu.

4. Pandangan hidup fatalistik yang menyerahkan kehidupan kepada keadaan dan perilaku sakral dalam menghadapi berbagai realitas duniawi

Untuk meretas kebekuan tradisi pemikiran yang menimpa kalangan pesantren, maka alternatif yang yang bisa ditawarkan adalah membangun kembali formula rasionalisme, sebagaimana yang diinginkan dalam teologi tauhid Muhammad Abduh (w. 1905) (dalam, Tolkhah dan Barizi, 2004: 89) adalah salah satu jalan bagi formulasi rasionalisme ketauhidan ketika dia memisahkan yang esensial dari yang tidak esensial, mempertahankan aspek fundamental dan meninggalkan aspek aksidental warisan sejarah. Abduh percaya bahwa al-Qur’an dan Hadits adalah sebagai petunjuk tuhan. Tetapi pemikiran adalah petunjuk utama (essntial) dalam hal-hal yang yang tidak tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits.

Dalam hal di atas, Islam harus diterjemahkan sesuai konteks yang dihadapinya. Petunjuk-petunjuk umum didalamnya menghendaki pendauran ulang pada setiap zaman. Karena itu, penerimaan secara mengikat terhadap otoritas masa lampau sebagai sebuah ketentuan syari’ah untuk segala zaman adalah “kekerdilan” Islam yang harus segera disingkirkan.

Sedangkan menurut Achmad el-Chumaedi, karakter salaf pesantren bisa dilihat dari sisi metodologi pengajaran (pendidikan) yang diterapkan dunia pesantren (baca: salafiyah). Penyebutan salaf dalam konteks praktek pengajaran di pesantren, didasarkan pada sistem pengajarannya yang monologis, bukannya dialogis-emansipatoris, yaitu sistem doktrinasi sang Kiyai kepada santrinya dan metodologi pengajarannya masih bersifat klasik, seperti sistem bandongan, pasaran, sorogan dan sejenisnya. Lepas dari persoalan itu, karakter tradisional yang melekat dalam dunia pesantren yang tidak selamanya buruk (Chumaedi, 2002: Artikel Pesantren www. Plasa. com).

Muhammad Maftuh Basyuni melihat sistem pengajaran yang banyak digunakan pesantren (sorogan dan bandongan), cenderung memberikan ruang yang terbatas baik bagi santri maupun ustadz untuk berimpovisasi dan mengoptimalkan daya nalar mereka. Peran dan potensi santri menjadi kurang berkembang, karena ustadz lebih dominan. Artinya perlu ada upaya yang memberikan peluang kepada santri untuk berkreasi dan mengebangkan potensi fikirnya. (2007: 244-245)

Artinya, salafisme dalam konteks didaktik-metodik yang telah lama diterapkan di pesantren, tidak perlu ditinggalkan begitu saja, hanya saja perlu disinergikan dengan modernitas. Hal ini dilakukan karena masyarakat secara praktis-pragmatis semakin membutuhkan adanya penguasaan sains dan tekhnologi. Oleh Karena itu, mensinergikan salafisme pesantren dengan modernitas dalam konteks praktek pengajaran, merupakan pilihan sejarah (historical choice) yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab, jika tidak demikian, eksistensi pesantren akan semakin sulit bertahan di tengah era informasi dan pentas globalisasi yang kian kompetitif

C. Reintegrasi Keilmuan Pesantren

1. Konsep Integritas Keilmuan Pesantren

Dalam pembahasan ini, peneliti akan membahas tentang persoalan krusial yang menyebabkan munculnya dikotomisasi pengetahuan dalam dunia pesantren yang selanjutnya akan menyebabkan pola pengembangan pendidikan pesantren menjadi tertutup terhadap dunia keilmuan yang selama ini ini diyakini menurut pandangan mereka secara tekstual yang mengacu pada pemahaman-pemahaman para pendahulu yang terepresentasi dalam kitab-kitab klasik.

Secara umum dapat dirumuskan bahwa perkembangan pesantren kontemporer, adalah bentuk dari transformasi nilai-nilai salafiyah untuk melakukan reposisi terhadap realitas modern saat ini. Hal ini dikarenakan, tantangan dunia modern lebih menekankan pada beberapa aspek diatas (sekuler, pragmatis, dan kalkulatif). Sementara disisi yang lain, konsep salafiyah yang sangat menekankan nilai-nilai keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, dan Ukhuwah Islamiyah, jelas sangat bertentangan dengan nilai-nilai modern diatas. Sehingga, persoalan terbesar yang harus dibenahi pesantren saat ini adalah bagaimana mereka mampu menjembatani dua kesenjangan diatas.

Untuk menyikapi persoalan tersebut, selama ini telah dimunculkan berbagai tawaran konsep yang memungkinkan untuk mengkompromikan kesenjangan masalah diatas. Seperti gagasan tentang “Islamisasi Pengetahuan” yang muncul pada konferensi pertama tentang pendidikan muslim di Makkah pada tahun 1977.

Seperti yang disampaikan Muhaimin, gagasan islamisasi pengetahuan antara lain dikemukakan oleh Syed Naquib al-Attas dalam makalahnya yang berjudul “Preliminary Thoughts on the Nature Of Knowledge and The Definition and The Aims of Education”, dan Ismail Raji al-Faruqi dalam makalahnya “Islamicizing Social Science”.

Al-Attas menyatakan, bahwa tantangan terbesar secara diam-diam dihadapi oleh umat Islam pada zaman ini adalah tantangan pengetahuan, bukan dalam bentuk sebagai kebodohan, tetapi pengetahuan yang difahamkan dan disebarkan keseluruh dunia oleh peradaban Barat. Dan menurut al-Faruqi, bahwa sistem pendidikan Islam telah dicetak didalam sebuah karikatur barat, sehingga ia dipandang sebagai inti malaise atau penderitaan yang dialami umat. ( Muhaimin, 2004: 90).

Antara ilmu umum dan agama sebenarnya terdapat perbedaan yang cukup mendasar yang perlu dipertimbangkan sebelum melakukan upaya reintegrasi antar keduanya. Pertama, mind set dasarnya berbeda. Ilmu bersandar pada etos otonomi pemahaman, sementara agama sikap dasarnya bertumpu pada nilai-nilai keimanan dan kepasrahan pada kehendak otoritas tuhan. Sehingga, jika dalam dunia keilmuan ketidakpercayaan (sebelum dibuktikan) merupakan sebuah keniscayaan, maka dalam dunia keagamaan, kepercayaanlah menjadi keutamaan (Bambang Sugiharto, dalam, Bagir, Dkk, 2005: 41).

Kedua, ilmu relatif lebih terbuka terhadap pandangan-pandangan baru asalkan rasional dan ditunjang bukti faktual. Sedangkan agama sebaliknya, meski umumnya diyakini bahwa manusia wajib menggunakan akalnya untuk memahami wahyu, dalam kenyatannya agama cenderung bersifat defensif terhadap pemahaman-pemahaman baru, bahkan agak tabu dalam memperkarakan dirinya sendiri.

Ketiga, ranah utama wacana agama adalah ranah misteri terdalam kehidupan beserta makna-makna pengalaman, yang sesungguhnya diluar wilayah jangkauan ilmu-ilmu empirik.. Bahasa agama lebih berupa bahasa mitos, penuh metafora ataupun retorika. Sementara bahasa ilmu adalah bahasa faktual, lugas, dan literal.

Oleh karena itu pola integritas keilmuan pesantren (antara ilmu umum dan agama) perlu diangkat guna mencari titik temu diantara dua kutub yang dianggap saling berlawanan, yang pada akhirnya memunculkan asumsi bahwa cabang-cabang keilmuan diluar kitab klasik menjadi sesuatu yang naif untuk dikaji oleh seorang santri, hal ini jelas sangat bertentangan dengan pola pengembangan pendidikan pada masa Wali songo yang sangat aktif dalam melakukan respon sosial, yang tentunya dengan mengawali dilakukannya kajian secara teoritik ataupun praksis.

Banyak sekali kasus kecurigaan ulama ortodoks terhadap sains rasional empiris. Ibrahim Musa (W. 1398) seorang ulama Andalusia terkemuka, berkesimpulan, bahwa rata-rata teolog ortodoks menganggap bahwa hanya ilmu-ilmu yang bermanfaat yang dibutuhkan atau berguna untuk praktik keagamaan (ibadah). Ilmu-ilmu lainnya tidak bernilai dan hanya menjauhkan orang islam dari jalan yang lurus. Ibn Thaimiyah menyatakan bahwa ‘Ilm hanya menunjuk pada pengetahuan yang berasal dari Nabi, dia menganggap bahwa yang lainnya tidak berguna atau bukan ilmu ealaupun mungkin ia disebut ilmu (Azyumardi Azra, dalam, Bagir, Dkk, 2005: 206).

Dalam gejolak aktivitas Islam Indonesia, antara kiai dan pemikir ke-Islaman jelas berada pada posisi jauh berbeda. Tepatnya, kiai adalah orisinilitas spesifik kultural bangsa Indonesia, sebagai pemuka masyarakat sekaligus figur religius yang berpegang teguh pada qaul mu'tabaroh (opini ulama mayoritas) dalam mengumandangkan ajaran agama kepada publik, orientasi utamanya adalah maksimalnya istiqomah (kontinuitas) amaliah ibadah. Kultural “karakteristiknya“, mayoritas kalau tidak disebut sebagaian, banyak "menelan mentah-mentah" opini ulama mutaqoddimin (ulama terdahulu) dan dianggap sebagai "teks suci" yang tidak bisa dikritik apalagi tidak difungsikan. pemfiguran kiai, eksis di tengah-tengah aneka ragam suku, kasta dan pergeseran budaya bangsa kita, walaupun telah banyak “pembajak“ kharisma kiai untuk melengkapi biodatanya, demi sebutir kepentingan individual atau maksimal golongannya saja.

Di sisi lain, status pemikir Islam, selama ini digunakan bagi mereka yang profesi utamanya mencari celah dan titik lemah agama. Bahkan sering dengan sengaja menyalahkan agama sebagai lahan kritik, untuk dijadikan proyek utama kajian, serta kurang memperhatikan orientasi amaliah diniyah (agama) dalam kehidupan sehar-hari.
Mereka, bisa saja pengetahuan ke-Islamannya apa-adanya, atau bahkan dari komunitas non-Muslim sekalipun, asalkan pola pikirnya berkembang, punya ide cemerlang dan perdebatan (agama) nya sensasional dan atau mampu mengundang reaksi. (2004: Artikel Pesantren www. Google. Com)

2. Model-Model Integrasi Keilmuan Pesantren

Telah banyak model yang diajukan untuk melakukan reintegrasi pengetahuan agama dan non agama diantaranya (Armahedi Mahzar, dalam, Bagir, Dkk, 2005: 95-98):

1. Model Monadik.

Model ini populer dikalangan fundamentalis, religius ataupun sekuler. Kalangan religius menyatakan agama adalah keseluruhan yang mengandung semua cabang kebudayaan. Sedangkan kalangan sekuler menganggap, agama sebagai salah satu cabang kebudayaan, sedangkan dalam fundamentalisme sekuler, kebudayaanlah yang merupakan ekspresi manusia dalam mewujudkan kehidupan yang berdasarkan sains sebagai satu-satunya kebenaran. Dengan model ini sangat sulit terjadi koeksistensi antara ilmu agama dan non agama, karena keduanya menegasikan eksistensi atau kebenaran yang lainnya.

Maka hubungan antara ilmu agama dan ilmu non agama merupakan konflik. Tampaknya, pola integrasi ini sulit untuk diaplikasikan dalam lembaga pendidikan terutama pesantren.

2. Model Diadik

Ada beberapa varian dalam model ini antara lain: Pertama, mengatakan, bahwa ilmu agama dan ilmu non agama adalah dua kebenaran yang setara. Ilmu non agama (sains) agama membicarakan fakta alamiah. Sedangkan agama membicarakan nilai-nilai ilahiah. Varian kedua, mengatakan pengetahuan umum dan pengetahuan agama adalah sebuah kesatuan yang takterpisahkan, seperti yang dikemukakan oleh Fritjof Capra, “Sains tak membutuhkan mistisisme, dan mistisisme tak membutuhkan sains. Akan tetapi, manusia membutuhkan keduanya”. Sedangkan varian ketiga, mengatakan antara pengetahuan umum dan pengetahuan agama terdapat kesamaan. Kesamaan itulah yang merupakan bahan bagi dialog antara pengetahuan umum dan agama.

3. Model Triadik

Dalam model triadik ada unsur ketiga dalam menjembatani ilmu umum dan ilmu agama. Jembatan itu adalah filsafat. Model ini diajukan oleh kaum tosofis sebagai perluasan dari kedua model sebelumnya dengan memasukkan filsafat sebagai komponen ketiga diantara ilmu umum dan agama.

D. Inovasi Pendidikan Pesantren

1. Konsep Inovasi Pendidikan Pesantren

Inovasi pendidikan pesatren dapat diartikan sebagai inovasi pemecahan masalah pendidikan pesantren, atau dengan perkataan lain, inovasi pendidikan pesantren adalah suatu ide, barang, metode, yang dirasakan atau diamati sebagai hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) baik berupa hasil penemuan (invention), atau discovery yang digunakan untuk mencapai tujuan atau memecahkan masalah pendidikan pesantren . (Sulthon dan Ridlo, 2006: 136)

Pendidikan pesantren merupakan sistem pendidikan yang kompleks. Oleh karena itu inovasi didalamnya mencakup hal-hal yang berhubungan dengan subsistem pendidikan pesantren, termasuk kurikulum madrasah umum, madrasah diniyah, perguruan tinggi atau komponen pendidikan yang lain. inovasi pesantren bisa berupa (Miles, dalam Sulthon dan Ridlo, 2006: 137):

1. Bidang Personalia. Pendidikan yang merupakan bagian dari sistem sosial tentu menentukan personel sebagai komponen sistem. Inovasi yang sesuai dengan komponen personal misalnya adalah; peningkatan mutu guru, sistem kenaikan pangkat, dan sebagainya.

2. Fasilitas Fisik. Inovasi pendidikan sesuai dengan komponen ini misalnya, perubahan bentuk tempat duduk (satu anak satu kursi dan satu meja), perubahan pengaturan dinding ruangan (dinding batas antar ruangan dibuat yang mudah dibuka sehingga pada saat yang diperlukan dua ruangan dapat disatukan), perlengkapan peralatan laboratorium bahasa, CCTV, dan sebagainya.

3. Pengaturan waktu. Suatu sistem pendidikan tentu memiliki perencanaan pengaturan waktu. Inovasi yang relevan dengan komponen ini misalnya, pengaturan waktu belajar (semester), perubahan jadual pelajaran yang dapat memberi kesempatan siswa/mahasiswa untuk memilih waktu sesuai dengan keperluannya.

Penerimaan terhadap inovasi pendidikan pesantren menumbuhkan proses yang panjang, sebab pada hakikatnya penerapan inovasi tersebut merupakan pemberian tingkah laku yang ditampakkan oleh individu mulai dari pemahaman pengetahuan tentang pembaharuan, persiapan, pengembangan pengetahuan hingga menjadi rutin, sampai pada tingkat penghalusan dan usaha untuk memperbaharui hal-hal yang berkaitan dengan pembaharuan yang dilakukan. Agar para guru/ustadz dan santri dapat memahami hal-hal yang diperbaharui. Maka, menjadi suatu kewajiban para pengasuh pesantren untuk mengkomunikasikan hal-hal baru kepada mereka melalui majlis-majlis yang relevan dengan budaya pesantren.

2. Agenda Inovasi Pesantren

Dengan mempertimbangkan karakteristik pesantren, dapat dikemukakan beberapa isu yang patut dilakukan inovasi dalam rangka peningkatan mutu pendidikan pesantren. Isu-isu tersebut meliputi (Sulthon dan Ridlo, 2006: 142):

1. Kurikulum. Untuk memenuhi tuntutan kebutuhan santri dan masyarakat, perlu dilakukan pembaruan kurikulum pada tiga aspek penting, yaitu: perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Perencanaan kurikulum pesantren harus didahului dengan kegiatan kajian kebutuhan (need assesment) secara akurat agar pendidikan pesantren fungsional. Kajian kebutuhan tersebut perlu dikaitkan dengan tuntutan era global, utamanya pendidikan yang berbasis kecakapan hidup (live skills) yang akrab dengan lingkungan kehidupan santri. Pelaksanaan kurikulumnya menggunakan pendekatan kecakapan majemuk (multiple intelegence) dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning). Sedangkan evaluasinya menerapkan penilaian menyeluruh terhadap semua kompetensi santri (authentic asessment).

2. Manajemen Sarana Prasarana Pendidikan. Untuk mendukung pelaksanaan kurikulum, pesantren hendaknya mengupayakan tersedianya sumber belajar, media pendidikan , dan pengajaran yang berbasis teknologi. Misalnya, penggunaan literatur-literatur digital dalam berbagai cabang ilmu agama dan umum. Perlu diketahui, saat ini banyak kitab-kitab hadits dan tafsir yang mu’tabar atau kitab kuning serta ilmu-ilmu umum telah di-CD-kan, sehingga memudahkan para ustadz, dan santri untuk mempelajarinya.

3. Membangun jaringan kerjasama baik dengan pesantren maupun dengan lembaga lain yang terkai. Misalnya, jaringan kerjasama untuk mengembangkan live skill di lingkungan pesantren dengan sekolah menengah kejuruan atau politeknik; pengembangan koperasi pesantren bekerja sama dengan dunia industri, dan sebagainya.

E. Pesantren dan Trasformasi Sosial

Pesantren sebagai lembaga pendidikan agama tentunya lebih dekat dengan nilai-nilai Islam sebagai sumber konsepsi dan motivasi pembangunan yang mengakar dimasyarakat. Pesantren sebagai lembaga yang mempunyai “revolting rate”, artinya, lulusan pesantren mempunyai dorongan untuk mendirikan pesantren didaerahnya sendiri. Pesantren termasuk lembaga yang mempunyai sustainable( berkelanjutan dari generasi ke generasi) yang tinggi. Dengan kata lain, dapat disebut pesantren adalah sebuah jaringan besar “the big network” ( Rofiq, dkk, 2005: 13).

Dalam realitas hubungan sosial, pesantren senantiasa menjadi kekuatan yang amat penting yaitu sebagai pilar sosial yang berbasis nilai keagamaan. Nilai keagamaan ini menjadi basis kedekatan pesantren dengan masyarakat. Hubungan kedekatan masyarakat dibangun melalui kerekatan hubungan psikologis dan ideologis.

Disebut kedekatan psikologis karena pesantren lahir dari relung-relung psikologis masyarakat pedesaan yang religius. Dan disebut kedekatan ideologis, karena pesantren juga menjadi benteng perlawanan dari sebuah keyakinan masyarakat yaitu agama. Hal ini bisa terjadi karena pesantren lahir dari harapan dan cita-cita masyarakat Islam yang rindu akan tatanan kehidupan sosial berbasis nilai keagamaan.

Pesantren sendiri lahir dari kesadaran nilai masyarakat yang diwujudkan dalam lembaga pendidikan berbasis nilai agama. Kekuatan basis masyarakat inilah yang menjadi kekuatan lembaga ini untuk tetap eksis dan mampu melakukan peran sebagai transformator sosial.

Tidak terlalu berlebihan apabila pesantren diposisikan sebagai satu elemen determinan dalam struktur piramida masyarakat Indonesia. Adanya posisi penting yang disandang pesantren menuntutnya untuk memainkan peranan penting dalam setiap proses-proses pembangunan sosial, baik melalui potensi pendidikan, maupun melalui potensi pengembangan masyarakat yang dimilikinya. (Sulthon dan Ridlo, 2006: 22)

Dalam sejarahnya, lembaga pendidikan pesantren pada masa walisongo telah mengambil peran sangat besar di masyarakat pada waktu itu. Para wali (walisongo) berhasil menjadikan pesantren sebagai sebuah lembaga kependetaan, dimana para sultan dan raja berkonsultasi tentang berbagai persoalan masyarakat, baik dalam hal politik, sosial, ekonomi, dan lain-lain. (Kosasih, Majalah Al-Isyroq, edisi 09/Januari-Februari 1998: 17)

Pada saat itu, para wali bukan sekedar seorang pemimpin dan pengayom kaum muslimin, tetapi sekaligus memegang kunci pemerintahan yang cukup strategis. Dari berbagai peran itulah akhirnya peran pesantren sebagai aktor dari trasformasi sosial semakin nyata.

Saat ini peran pesantren dalam melakukan transformasi sosial ditunjukkan dengan perannya sebagai pusat penyuluhan kesehatan; pusat pengembangan teknologi tepat guna bagi masyarakat pedesaan; pusat usaha penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup dan lebih penting lagi menjadi pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat. (Qomar, 2007: 26)

Lebih lanjut Qomar menjelaskan, ternyata pesantren lebih populis dan peka terhadap program-program pembangunan pemerintah, maupun masalah-masalah sosial yang menjadi sasaran konsentrasi masyarakat. Program pembangunan yang terkait dengan hukum syara’ secara langsung mungkin tidak akan berjalan lancar bila tidak didukung pesantren.

Dalam hal diatas, Qomar mencontohkan program Keluarga Berencana (KB), dimana program ini baru dapat diterima kaum santri setelah para Kiai pesantren turun tangan. Apalagi di daerah-daerah yang mayoritas masyarakatnya orang Madura, nasihat-nasihat Kiai jauh lebih diterima dan ditaati daripada anjuran-anjuran pemerintah. Kiranya dengan pemikiran diatas kita akan semakin menemukan posisi vital pesantren dalam trasformasi sosial masy

BAB III

HASIL DAN LAPORAN PENELITIAN

A. Biografi K.H.R. As’ad Syamsul Arifin

1. Latar Belakang dan Leluhur K.H.R. As’ad Syamsul Arifin

K.H.R. As’ad Syamsul Arifin dilahirkan di Syi’ib Ali, sebuah perkampungan didekat Masjidil Haram Makkah. Beliau dilahirkan oleh pasangan Raden Ibrahim (yang kemudian populer dengan nama K.H.R. Syamsul Arifin) dan Siti Maimunah. Nama As’ad dipilih oleh Raden Ibrahim berdasarkan mimpi yang diperolehnya disaat sang istri (Siti Maimunah) sedang hamil tua. Raden Ibrahim bermimpi melihat kandungan istrinya membesar lalu melihat bayi berbulu macan. Sekujur tubuh bayi itu konon tampak dipenuhi bulu layaknya singa, dan dikedua bahunya tertulis kata arab ﺃﺴﻌﺩ . (Basri, 1994: 1)

Dalam gramatika Arab, kata ﺃﺴﻌﺩ (bahagia) tergolong isim tafdhil yang bermakna lebih atau sangat. Dengan demikian, ﺃﺴﻌﺩ berarti sangat bahagia atau paling bahagia. Bahagia karena putra Raden Ibtahim tersebut lahir ditanah suci, disaat sang ayah berada dalam puncak kematangan sebagai penuntut ilmu yang sudah berpuluh tahun mukim ditanah Arab itu.

Nama besar K.H.R. Syamsul Arifin tidak bisa dipisahkan dengan keluarga besar pesantren Kembang Kuning, Pamekasan, Madura. Putra dari pasangan Kiai Ruham dan Nyai Nur Sari, yang dikenal dengan seorang tokoh yang memiliki pengaruh besar di pulau Madura. Nyai Nur Sari adalah keturunan Bendoro Saud, seorang adipati sumenep yang bergelar Tumenggung Tirtonegoro pada tahun 1750 M. Bendoro Saud sendiri adalah keturunan Pangeran Ketandur, cucu Sunan Kudus. Dari Tumenggung inilah lahir Ulama-Ulama besar diantaranya Kiai Syamsul Arifin, yang merupakan leluhur Kiai As’ad. (Basri, 1994: 3).

Dalam biografi Kiai As’ad yang memuat buku catatan KH Dhafier Munawwar yang berkaitan dengan leluhur Kiai As’ad. Disana disebutkan, dari jalur ayah, Kiai As’ad masih tedak kasunanan, sementara dari jalur ibu berdarah bangsawan. Dari jalur ayah Kiai As’ad merupakan keturunan daro Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) putra Raden Rahmat (Sunan Ampel) (Basri, 1994: . Sebagaimana bisa dilihat dari silsilah berikut:

Itulah silsilah Kiai As’ad dari jalur ayah. Dari struktur diatas diatas terlihat bahwa Kiai As’ad masih tedak kesunanan. Sedangkan dari jalur ibu, tersebutlah nenek Kiai As’ad bernama Nyai Nur Sari istri Kiai Ruham yang dikenal dengan nama Hajjah Khatijah, ia adalah putri Kiai Ismail, adapun kakek Kiai Ismail adalah Kiai Nuruddin yang tak lain adalah keturunan Bendoro Saud.

2. Riwayat Pendidikan

Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa Kiai As’ad lahir di Makkah. Kemudian pada umur enam tahun, ia diboyong ayahnya kembali ketanah air. Setelah menetap beberapa tahun dikembang kuning ibunya wafat. Ketika berusia 13 tahun, As’ad mondok di pondok pesantren Banyuanyar dibawah asuhan KH Abdul Majid dan KH Abdul Hamid.

Kemudian As’ad ikut membatu ayahnya mendirikan pesantren di Sukorejo, Situbondo. Setelah usianya menginjak 16 tahun, As’ad dikirim ke Makkah untuk memperdalam ilmu agama. Di tanah suci, As’ad diterima sebagai murid madrasah Showlatiyyah. Disamping belajar di madrasah, ia juga berguru kepada:

1. Sayyid Abbas al-Maliki

2. Syeikh Muhammad Amin al-Quthby

3. Syeikh Hasan al-Yamani

4. Syeikh Hasan al-Massad

5. Syeikh Bakir

6. Syeikh Syarif as-Syinqithi

Pada tahun 1924 (kala itu As’ad berusia sekitar 25 tahun) kembali ketanah air. Tidak cukup dengan pengembaraan ilmiahnya di tanah suci, As’ad kembali berpetualang dalam belantara ilmu. Ia belajar dari satu pondok kepondok yang lain. Adapun beberapa pondok yang pernah disinggahinya adalah:

1. Pondok Banyuanyar, Pamekasan. Baik ketika diasuh oleh KH Abdul Majid ataupun ketika diasuh KH Abdul Hamid

2. Pondok Sidogiri, Pasuruan. Di bawah bimbingan KH Nawawie

3. Pondok Buduran, Sidoarjo. Asuhan KH Khozin

4. Pondok Bangkalan, Madura. Asuhan K.R.H Muhammad Kholil

5. Pondok Tebuireng, Jombang. Asuhan KH Hasyim Asy’arie

Di pondok Tebuireng itulah As’ad memperoleh suatu pengalaman spiritual yang cukp berkesan sebagai seorang santri. Menurutnya, Tebuireng merupakan pondok yang paling berpengaruh dalam pembentukan kepribadiannya. Bahkan setiap menyinggung pesantren Tebuireng, beliau tak putus-putusnya menyebut Khadratusy Syaikh Hasyim Asy’arie sebagai guru yang paling banyak membentuk wataknya. (Basri, 1994: 26)

Namun bukan berarti pesantren yang lain terabaikan begitu saja, bahkan menurut salah satu putra Kiai Asad seperti yang ditulis Syamsul A Hasan bahwa: “Kiai As’ad kalau tidak sampai memperoleh Intisari ilmunya beliau tidak akan pulang atau pindah pondok. Misalnya, Kiai Kholil Bangkalan yang menjadi inspirasinya dalam masalah Hal (akhlaq), kalau masalah dzikir beliau mengikuti Kiai Jazuli, dalam masalah perjuangan gurunya adalah KH Hasyim Asy’arie, sedangkan masalah keilmuan Kiai As’ad berguru kepada Kiai Khozin Sidoarjo dan Syeikh Umar Hamdan Makkah”. (Hasan, 2003: 183)

3. Sejarah Perjuangan

“Selain membantu ayahnya (KHR Syamsul Arifin) membangun sebuah pesantren yang kini dihuni belasan ribu santri di Sukorejo-Situbondo, Kiai As’ad juga memperjuangkan kemerdekaan dan persatuan bangsa ini dengan sungguh-sungguh. Misalnya ia berjalan kaki selama seminggu, hanya untuk merebut beberapa senjata di Bondowoso. Selain itu sebuah sejarah besar yang dilahirkan dari perjuangan nyata Kiai As’ad adalah diterimanya asas tunggal pancasila bagi Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1983”.

Itulah cuplikan ceramah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada acara haul Kiai As’ad (Hasan, 2003: 200). Dalam pandangan Gus Dur, Menjelang detik-detik diterimanya asas tunggal pancasila, Kiai As’ad banyak menjalin komunikasi dengan dirinya, termasuk juga KH Achmad Shiddiq, bahkan dengan Presiden Soeharto langsung.

Hal ini dilakukan oleh Kiai As’ad, karena beliau hanya tidak mengingnkan Pancasila menggantikan posisi Islam sebagai pegangan hidup mayoritas masyarakat Indonesia yang notabenenya beragama Islam. Namun setelah dijelaskan oleh Gus Dur, bahwa pancasila tidak akan menggantikan posisi Islam, bahkan dalam sila pertama dalam Pancasila menggambarkan ajaran tauhid dalam Islam, baru setelah itu beliau mau menerima Pancasila. (Arifin, 85: 2000)

Selain itu, Kiai As’ad juga pernah tercatat sebagai anggota konstituante pada tahun 1957-1959. Namun, suara beliau waktu itu belum terdengar lantang. Beliau tidak sevocal tokoh-tokoh dari kalangan NU yang lain. Menurut pengakuan beliau, dirinya merasa enggan untuk terlalu aktif dalam forum tersebut karena sengitnya pertentangan politik yang ada, hal ini terbukti dengan dikeluarkannya Dekrit 5 Juli oleh Presiden Soekarno, yang berisi tentang dikembalikannya konstitusi bangsa Indonesia pada UUD 1945 dan pembubaran Konstituante.

Perjuangan dan kiprah Kiai As’ad dalam pentas nasional tak ayal telah menempatkan dirinya dalam deretan tokoh yang memiliki pengaruh besar. Pengaruh ini juga didukung dengan kemampuannya menginsafkan tokoh tokoh dunia hitam (baca: bajingan) di sekitar Eks Karesidenan Besuki. Bahkan, telah tercatat sekitar 30.000 orang telah tergabung dalam kelompok binaannya, yang diberi nama Barisan Pelopor. (Hasan, 2003: 97)

Barisan pelopor ini kebanyakan telah insaf dari kubangan dunia hitam. Pada zaman kemerdekaan, mereka diajak untuk berjuang mengusir penjajah dari tanah air. Setelah melewati masa perang, Barisan Pelopor kemudian ditugaskan untuk menggalang dana dari masyarakat untuk kepentingan pembangunan pesantren Sukorejo. Selain itu mereka juga ditugaskan untuk menjaga keamanan pesantren terutama pada acara-acara keislaman yang diadakan oleh pesantren.

Pada masa pemberontakan G 30 S PKI, pesantren Sukorejo kembali mengambil peran cukup vital dalam pemberantasan PKI. Sebagai ulama senior yang kala itu menjabat Rais Syuriyah NU cabang Situbondo, dan juga sebagai penasehat pribadi Wakil Perdana Mentri Idham Cholid, Kiai As’ad selalu mengadakan kontak dengan Jakarta untuk mendapatkan konfirmasi yang akurat mengenai situasi politik nasional.

Ketika peristiwa berdarah G 30 S PKI meletus, kekuatan NU berikut neven-nevennya terbilang sangat solid. Hampir semua ulama NU di persada Indonesia menjadi rujukan legitimasi penumpasan antek-antek PKI. Tak terkecuali ulama besar seperti K.H.R As’ad Syamsul Arifin, hampir semua gerakan penumpasan baik oleh ABRI (kini TNI) maupun gerakan anti PKI di wilayah Eks Karesidenan Besuki, terlebih dahulu mendapat konfirmasi Kiai As’ad. (Basri, 1994: 54-55)

Kiprah dan perjuangan Kiai As’ad telah menjadikan pesantren Sukorejo sebagai sentral dari masalah umat. Selain dikenal debagai salah satu pesantren terbesar di Indonesia, sebagaimana telah disinggung dalam tulisan diatas, pesantren ini telah menampilkan dirinya sebagai pusat kegiatan perjuangan sebelum ataupun setelah kemerdekaan, selain itu pesantren ini kembali menjadi pusat perhatian media dan masyarakat ketika NU menerima asas tunggal pancasila pada muktamarnya yang ke-27. (Bruinessen, 1999: 125)

Pada hari Sabtu, tanggal 4 Agustus 1990, pukul 07, 25 Wib, akhirnya K.H.R. As’ad Syamsul Arifin berpulang kerahmatullah di kediamannya (Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo, Situbondo) pada usia 95 tahun. Jenazah almarhum dimakamkan di pemakaman keluarga, disebelah barat masjid jamik psantren Sukorejo bersebelahan dengan makam Ayahandanya (K.H.R. Syamsul Arifin).

4. Keteladanan Kiai As’ad

Sebagai ulama dan tokoh masyarakat, kedalaman ilmu dan satunya kata dengan perbuatan yang dilengkapi dengan sikap khosyyah kepada Allah SWT, telah menjadikan beliau sebagai seorang ulama sekaligus pemimpin yang memiliki ciri khas tersendiri. Adapun beberapa keteladanan beliau yang patut untuk diteladani, antara lain sebagai berikut (Hasan Basri,1994: 107-113):

1. Zuhud dan sederhana. Beliau dikenal sebagai seorang ulama yang lurus dan selalu tampil dalam kesederhanaan. Mulai dari pakaian, tempat tinggal dan fasilitas lainnya, terbilang sangat sederhana. Kesehariannya hanya mengenakan pakaian sarung, baju koko, dan kopyah yang kesemuanya berwarna putih. Selama berpuluh-puluh tahun beliau tinggal dirumah yang terbuat dari bambu, tempat tidur bambu dan beralaskan anyaman tikar (suatu pemandangan yang sangat kontras apabila kita melihat bangunan pesantrennya yang sangat megah). Tapi bukan berarti beliau tidak mau menerima kesenangan duniawi, seperti seringkali diungkapkan beliau bahwa Nabi Muhammad wafat tanpa meninggalkan harta benda.

2. Ulama pejuang. Kiai As’ad lahir dan dibesarkan dalam masa penjajahan. Kiai As’ad memiliki semangat anti penjajah dan memiliki keberanian yang luar biasa. Ketika meletusnya G. 30. S. PKI, fatwa-fatwa Kiai As’ad selalu menjadi pegangan kaum Nahdliyin dan juga sebagian pejabat. Dalam kapasitasnya sebagai pemimpin pejuang, Kiai As’ad memiliki keistimewaan tersendiri, misalnya dengan merekrut para residivis yang kemudian tunduk dan patuh pada perintahnya.

3. Teguh memegang prinsip. Selain tegas dalam pendirian, Kiai As’ad dikenal teguh memegang prinsip. Terbukti ketika beliau menilai kepemimpinan NU yang dikemudikan Gus Dur keluar dari etika salaf, beliau langsung menyatakan mufaraqah sebagai bukti keteguhan pendirian dari rasa tanggung jawabnya kepada NU. Begitupun ketika beliau hendak mendirikan Ma’had Aly, beliau sering menceritakan wasiat dari KH Hasyim Asy’arie kepada beliau untuk memperbanyak mencetak ulama. Itulah sebabnya beliau berusaha keras untuk mendirikan Ma’had Aly sampai wasiat sang-guru betul-betul dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan konsekuensi.

4. Ikhlas dalam beramal dan berjuang. Pandangan hidup Kiai As’ad memang terfokus pada perjuangan menegakkan kebenaran dengan tulus ikhlas karena Allah SWT. Ini dibuktikan ketika seusai perjuangan fisik melawan penjajah, beliau dipanggil Bung Karno untuk diberikan penghargaan berupa jabatan. Namun, secara halus beliau menolak dan justru memilih kembali kepesantren.

5. Rendah hati dan tidak pendendam. Hal ini terbukti ketika beliau merencanakan perlunya NU kembali ke Khittah 1926, karena itu perlu diadakan Munas kemudian Muktamar. Dalam kaitan itu, beliau tidak segan-segan mendatangi para Kiai satu-persatu agar datang ke Sukorejo, walaupun kiai-kiai tadi itu jauh lebih muda dibanding Kiai As’ad. Selain itu beliau juga dikenal sangat menghormati guru, keluarga, dan keturunannya. Beliau lapang dada dan tidak pendendam.

6. Disiplin waktu dan istiqamah. Hal ini ditunjukkan dalam kehadirannya dalam setiap undangan, beliau selalu datang lebih awal atau tepat waktu. Bahkan di lingkungan pesantren sendiri, sebagaimana pengakuan santri yang sering bangun untuk shalat malam, mereka mesti bertemu Kiai sedang mengelilingi pondok. Ini dilakukan setiap hari mulai tengah malam.

7. Suka silaturrahim dan ziarah ke makam sunan. Sudah menjadi bagian hidup Kiai, setiap hari melakukan silaturrahim, terutama pada sanak famili, kenalan dan teman dekat. Selain silaturrahim, Kiai As’ad juga sering melakukan ziarah ke makam-makam wali songo. Ini dilakukan biasanya sebelum atau sesudah mengadakan acara imtihan atau maulid Nabi Muhammad SAW di pondok pesantren.

8. Hidup mandiri dan menjaga kebersihan. Sikap mandiri merupakan karakter beliau yang tidak pernah berubah. Sikap ini dimiliki beliau sejak muda. Ketika muda Kiai sudah mengembara ke berbagai daerah untuk belajar hidup sendiri tanpa bergantung pada orang tua. Selain itu beliau sangat memperhatikan masalah kesehatan dan kebersihan lingkungan. Untuk itu beliau setiap pagi mengontrol kebersihan kamar dan lingkungan pesantren secara menyeluruh.

9. Gemar membangun untuk kepentingan agama dan bangsa. Banyak sekali pondok, masjid, dan madrasah yang dibangun atas prakarsa dan bahkan langsung dibangun oleh Kiai As’ad. Dan sampai akhir hayat, beliau masih banyak merencanakan bangunan yang belum sempat diwujudkan, terutama pembangunan dilingkungan pesantren Sukorejo.

2. Konsep Khittah Pesantren Perspektif Pemikiran K.H.R. As’ad Syamsul Arifin

1. Latar Belakang Pemikiran K.H.R. As’ad Syansul Arifin Tentang Khittah Pesantren

“…Khittah Pesantren, berarti harus berorientasi pada zaman Sunan Ampel, pesantren harus berwawasan salafi. Pesantren zaman Sunan Ampel sudah terbukti mampu mencetak kader-kader handal. ……..pesantren zaman dulu, murni salaf, tidak ada SD, SMP, dan sekolah umum lainnya. Namun pesantren Sukorejo, walaupun ada lembaga pendidikan umum, diharapkan para alumninya benar-benar handal setelah terjun dimasyarakat”. (Arifin, 2000: 44)

Pernyataan Kiai As’ad di atas menunjukkan pola pengembangan pendidikan pada zaman Sunan Ampel (Wali songo) adalah cermin dari inspirasi munculnya konsep khittah pesantren Kiai As’ad. Di mana pola pengembangan pendidikan pada zaman tersebut didasarkan pada realitas sosial masyarakat. Ketika terdapat problematika ekonomi, muncullah Sunan Drajat sebagai seorang ekonom, ketika di masyarakat terdapat indikasi ketertarikan terhadap dunia seni, muncullah Sunan Kali Jaga dan Sunan Bonang sebagai figur budayawan sekaligus seniman, ketika terjadi krisis politik yang mengharuskan terjadinya peperangan, muncullah Sunan Gunung Jati sebagai seorang ahli strategi militer, dalam persoalan fiqh, pakarnya adalah sunan kudus, sehingga setiap persoalan masyarakat mampu direspon dengan baik oleh produk-produk pesantren pada waktu itu.

Sementara dari aspek metodologi pembelajaran, para Wali menggunakan berbagai metode yang variatif sesuai dengan objek pendidikan yang dihadapi. Misalnya, Sunan Giri, menggunakan pendekatan permainan untuk mengajarkan Islam kepada anak-anak, Sunan Kudus menggunakan dongeng, Sunan Kalijaga mengajarkan Islam melalui wayang kulit, dan Sunan Drajat mengajarkan Islam melalui keterlibatan langsung dalam rangka menangani problematika ekonomi masyarakat. (A’la, 2006: 17)

Lebih jauh A’la menyatakan, pola tesebut telah mengantarkan pesantren yang penuh kelenturan dan memiliki spektrum luas, melampaui batas-batas pesantren itu sendiri. Tidak berlebihan jika dikatakan, pesantren merupakan deschooling society dengan menjadikan masyarakat sebagai masyarakat pembelajar dan menjadikan belajar sebagai proses yang berjalan terus menerus (berkesinambungan).

Warisan keilmuan para wali diatas hendaknya dibaca kembali untuk menemukan nilai-nilai substansial yang menjadi inti dari keseluruhan tradisi yang ada. Serta direkonstruksi untuk dikembangkan berdasarkan perubahan kehidupan konkret yang mengitarinya. Al-Turats (tradisi) para wali tersebut hendaknya dijadikan landasan keilmuan pesantren dalam konteks kekinian.

Dengan kata lain, kontekstualisasi nilai-nilai tradisi menjadi keniscayaan untuk direalisasikan dalam realitas pendidikan pesantren. Kesederhanaan, kemandirian dan keikhlasan perlu dijadikan ruh pendidikan dalam suatu rumusan kontekstual yang sesuai dengan perkembangan dan perubahan kehidupan yang terus berjalan. Dengan demikian, kesederhanaan akan menemukan tempatnya pada pengembangan dan efektifitas lembaga pesantre. Kemandirian akan diarahkan pada pembentukan mentalitas santri yang betul-betul terlepas dari ketergantungan yang ada selama ini. Sementara keikhlasan akan dikonkretkan kedalam bentuk pengembangan prestasi.

Pembacaan kembali terhadap Turats berimplikasi secara langsung terhadap urgensi pengembangan wacana baru. Hal ini dimungkinkan terjadi, sebab, nilai-nilai diatas menuntut kearifan pesantren untuk selalu menyikapi perubahan dan meletakkannya sebagai suatu keniscayaan yang harus di jalani. Pesantren dan masyarakat sekitarnya akan dapat mengetahui kebutuhannya secara riil serta akan selalu mengembangkan dirinya melalui usaha keras untuk mendapatkan wawasan dan ilmu seluas-luasnya.

Dalam prespektif tersebut, proses pembelajaran berbagai disiplin ilmu dan pengembangan metodologi yang lebih manusiawi dan religius akan menjadi kebutuhan muttlak untuk di tumbuh kembangkan. Semua itu berangkat dari tradisi pesantren yang pada prinsipnya merupakan ajaran dan nilai Islam otentik. Oleh karna itu, pengembangan yang bersifat umum tidak di letakkan sebagai pelengkap tanpa makna terhadap ilmu-ilmu syari’ah, atau akan menjadi sesuatu yang asing dan harus di tolak. Justru hal itu akan di integrasikan secara penuh dengan ilmu syari’ah, sehingga kian mengokohkan keyakinan manusia tentang realitas tuhan sebagai Robul Alamin.

Penumbuhan keyakinan tersebut perlu di capai oleh pesantren. Sebab penilaian tentang keberhasilan pesantren sebagai pendidikan alternatif terletak pada kemampuannya menyumbangkan pembangunan mental spiritual yang di ekspresikan secara intelektual. Selain itu, juga berbijak pada ketulusan pesantren untuk menyatu dengan masyarakat segaligus sebagai agen transformasi yang dapat mencerahkan masyarakat.

Kemampuan pesantren dalam hal tersebut akan mengantarkannya sebagai lembaga yang hadir sebagai agen perubahan dalam arti sebenar-benarnya, segaligus sebagai penjaga moral yang kokoh di tengah proses dehumanisasi. Keberhasil dalam hal tersebut akan membuat pesantren memiliki nilai tawar tinggi di tengah kompetisi dunia pendidikan di Indonesia pada saat yang sama pesantren dengan sejumlah nilai yang di anutnya tetap akan mengedepankan kepekaan sosial sebagai wujud dari respon realitas sosial.

2. b. Pemikiran K.H.R. As’ad Syamsul Arifin Tentang Khittah Pesantren Perspektif

Khittah, menurut Partanto dan Barry, diartikan sebagai “Garis” (1994: 335), sehingga, khittah pesantren dapat diartikan sebagai upaya pengembalian pesantren pada nilai-nilai yang telah digariskan pada awal munculnya pesantren (Arifin, 2000: 46). Sebagai suatu uapaya untuk menjembatani kesenjangan realitas dunia pesantren pada masa wali songo dengan realitas pesantren saat ini.

Sebagai seorang ulama, sekaligus pengasuh pesantren, K.H.R. As’ad Syamsul Arifin sangat prihatin dengan kondisi pesantren saat ini, hal ini dilandasi dengan munculnya gejala kebekuan nilai-nilai salafiyah yang selama ini melekat pada identitas pesantren. Untuk itu beliau berpendapat, Pesantren harus dikembalikan pada semangat awalnya yaitu pada masa Wali songo. Menurut beliau, sistem pembelajaran dan pengkaderan pada masa itu sangat memperhatikan nilai-nilai salafiyah sebagai karakter pesantren. (Arifin, 2000: 44-47)

Sebagaimana kita ketahui, bahwa pola pendidikan pesantren pada masa Wali songo sangat memperhatikan nilai-nilai salafiyah. Hal ini diajarkan tidak hanya dalam bentuk teoritis semata, melainkan juga diaplikasikan dalam tataran praksis. Sentuhan pendidikan yang dilakukan oleh mereka sangat berarti bagi para santri pada waktu itu, guru-guru mereka betul-betul telah mampu menjadi idola bagi para santri dalam segala hal, baik dari sisi keilmuannya, akhlaqnya, ataupun dalam kesederhanaannya. Sehingga nilai-nilai kepribadian yang terpancar dari sang guru dapat dijadikan teladan oleh santri.

Peran vital seorang kiai dalam mengembalikan khittah pesantren sangatlah menentukan, mengingat kebijakan tertinggi dalam dunia pesantren berasal dari figur kiai, selain itu menurut Greg Fealy, peran kiai adalah sebagai cendekiawan, guru dan pembimbing spiritual, hal ini ditunjukkan dengan perannya sebagai penjaga iman, penghibur sekaligus pendekar ( 2007: 23). Dari rumusan tersebut, peran kiai dalam merumuskan sistem dan metode pembelajaran pada santri diharapkan tidak meninggalkan nilai-nilai salaf, sebagai landasan dalam gerakan kependidikan pesantren.

Adapun beberapa rumusan khittah pesantren menurut pemikiran K.H.R As’ad Syamsul Arifin sebagai berikut (2000: 38-47):

1. Pesantren harus berpegang teguh pada nilai-nilai salaf. Sebagai lembaga pendidikan yang didirikan dengan memakai paradigma salaf, sudah merupakan keharusan bagi masyarakat pesantren untuk melestarikan tradisi salaf sebagai identitasnya, baik dalam hal kurikulum, pemikiran, manajemen, dan tingkah lakunya.

2. Niat seorang santri harus diorientasikan pada kepentingan akhirat, bukan untuk meraih kedudukan duniawi. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi SAW yang artinya: “Carilah kehidupan duniamu seakan-akan kamu akan hidup selamanya, dan carilah kehidupan akhiratmu seakan-akan kamu akan mati esok”. Merupakan keharusan bagi seorang santri untuk memprioritaskan orientasi pengabdian hidupnya pada kehidupan akhirat meskipun tanpa harus mengesampingkan kepentingan duniawi.

3. Niat seorang santri harus murni dalam rangka mengaji dan belajar. Bagi Kiai As’ad, Komitmen untuk al-Thalab al-Ilm (mencari ilmu) perlu untuk diperhatikan, agar dalam memasuki dunia pesantren seorang santri betul-betul serius dalam belajar, dan diharapkan sukses bahkan berprestasi dalam menempuh studi sebagaimana juga menjadi harapan orang tua santri.

4. Dalam belajar, nilai-nilai ikhlas harus tertanam, belajar bukan untuk meraih gelar. Dalam hal ini Kiai As’ad betul-betul menekankan ikhlas sebagai fondasi dasar seorang santri dalam menuntut ilmu. Sementara gelar bukanlah tujuan pokok untuk dicari, karena yang diutamakan bagi seorang penuntut ilmu adalah kualitas keilmuannya bukan kuantitas gelarnya.

5. Pesantren harus bisa mencetak pemimpin, bukan pegawai. Bagi Kiai As’ad, kebutuhan masyarakat saat ini adalah munculnya kader-kader yang produktif, bisa tampil menjadi pemimpin, dan kreatif. Sehingga, konsep ﺨﻴﺮﺍﻠﻨﺎﺲﺍﻨﻔﻌﻬﻢﻠﻨﺎﺲ (sebaik-baik manusia adalah yang bisa memberi manfaat pada manusia yang lain) dapat terlahir dari pesantren.

Kelima gagasan diatas diharapkan pesantren tetap eksis dan konsisten dengan prinsipnya, sehingga bisa melahirkan kader-kader handal yang mampu menjawab tuntutan zaman, bukan menjadi budak peradaban. Konsistensi pesantren terhadap nilai-nilai salaf tidak harus dimaknai meninggalkan urusan urusan duniawi. Pesantren tetap dituntut untuk senantiasa peka merespon tantangan zaman tanpa harus keluar dari rel-rel salaf. Ketika hal ini telah menjadi prinsip dan betul-betul diaplikasikan, maka, kader-kader pesantren telah menjadi pemimpin, diharapkan mampu membawa bangsa dan negara sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan rakyat.

Sebagaimana disinggung diatas, nilai-nilai salafiah telah menjadi bagian dari pesantren. Sehingga orientasi niat yang terpupuk dalam diri santri betul-betul dalam rangka belajar, bukan untuk mengejar gelar, apalagi untuk menjadi pegawai. Dari sini akan tergambar bahwa orientasi pesantren hendaknya betul-betul diarahkan pada kesuksesan akhirat dari pada kesuksesan dunia yang sifatnya semu. Pendapat senada juga dikemukakan oleh A Syafi’i Ma’arif (dalam Muhaimin, 2004: 2), ia menegaskan kegiatan pendidikan dimuka bumi haruslah berorientasi kelangit, sebagai orientasi transendental, agar kegiatan itu punya makna spiritual yang mengatasi ruang dan waktu.

Pesantren diharapkan tetap eksis dan konsisten dengan prinsipnya, sehingga bisa melahirkan kader-kader handal yang mampu menjawab tuntutan zaman, bukan menjadi budak peradaban. Konsistensi pesantren terhadap nilai-nilai salaf tidak harus dimaknai meninggalkan urusan urusan duniawi. Pesantren tetap dituntut untuk senantiasa peka merespon tantangan zaman tanpa harus keluar dari rel-rel salaf. Ketika hal ini telah menjadi prinsip dan betul-betul diaplikasikan, maka, kader-kader pesantren diharapkan mampu membawa bangsa dan negara sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan rakyat.

Adapun acuan utama khittah pesantren menurut analisa kiai As’ad, adalah pada masa Wali songo. Produk produk pesantren pada masa itu sangat variatif, ada yang menjadi fuqaha’ (Sunan Kudus), Ekonom (Sunan Drajat), ahli strategi militer (Sunan Gunung Jati), Seniman (Sunan Kali Jaga dan Sunan Bonang), Politikus dan Negarawan (Raden Fatah). Kesemuanya adalah buah didikan Sunan Ampel sebagai ulama senior, sekaligus sebagai rujukan spiritual pada waktu itu (Yatim, 2006: 210-211).

Potret realitas pada masa Wali songo mencerminkan kesuksesan para wali dalam melakukan kolaborasi antara prinsip-prinsip salafiyah dengan tantangan realitas sosial. Mereka melakukan kajian empirik atas realitas sosial masyarakat dengan paradigma salaf. Hasil dari elaborasi kedua konsep tersebut telah melahirkan kader-kader intelektual produktif yang ditandai kengan kemunculan ulama fuqaha’, politisi, seniman, dan ekonom.

Sebagai seorang ulama, tentunya kapabilitas keilmuan agama mereka sangat teruji, sementara disisi yang lain mereka juga mampu menampilkan diri mereka sebagai seorang yang responsif dengan melakukan upaya pembelajaran dan aplikasi nyata dalam merespon realitas sosial masyarakat pada masanya. Dengan demikian, problematika masyarakat dalam hal ukhrawi ataupun duniawi akan mampu terjawab.

Pola tersebut diharapkan mampu mengantarkan pesantren pada sistem yang penuh kelenturan dan memiliki spektrum luas, melampaui batas-batas pesantren itu sendiri. Dengan demikian pesantren akan bebas dari sekolah sebagai institusi dengan aturan-aturan, sistem evaluasi, janji-janji pekerjaan yang diberikan, serta sertifikat yang dikeluarkannya.

Pola ini pada gilirannya, menjadikan pesantren tidak membuat batas secara tegas antara santri itu sendiri dengan masyarakat sekitarnya. Demikian pula pesantren tidak membatasi waktu belajar dengan sekat-sekat waktu yang kaku sehingga proses pembelajaran dan pendidikan selama dua puluh empat jam hadir penuh dalam bentuk yang nyata tanpa harus memberatkan siapa yan terlibat didalamnya.

Keberadaan keilmuan pesantren sendiri menjadi integral. Integralitas itu dapat dilacak pada pengembangan fiqh dan alat-alat bantunya yang disatukan dalam fiqh Sufistik (istilah Moqsith Ghazali: Post Fiqh). Dengan kata lain, yang diutamakan di dunia pesantren bukan hanya aspek pengalaman hukum atau aspek akhlaq semata, melainkan juga pemekaran pengertian tentang kehidupan dan hakikat manusia serta kehidupan masyarakat. Senada dengan pernyataan tersebut, Paulo Freire (dalam Yunus, 2005: 42), menyatakan bahwa pendidikan merupakan nilai paling vital bagi proses pembebasan manusia “Education as the Practice of Freedom”.

Konsep diatas dalapat dilacak dalam perilaku kiai As’ad seperti yang dikemukakan Abd. Muqsith Ghazali (dalam Hasan, 2003: Vii-Viii) semisal:

1. Keberanian kiai As’ad untk tidak menyembelih sebagian hewan qurban pada Hari Raya Idul Adha hinggga hari ketiga dari Ayyam at-Tassyriq. Sebenarnya tindakan seperti ini cenderung liberal. Sebab, jumhur ulama fiqh telah sepakat bahwa penyembelihan hewan qurban pada hari-hari tersebut. Tindakan ini dimaksud bahwa, inti dari pen-syariatan ibadah qurban bukan semata-mata menyembelih binatang, melainkan seberapa jauh distribusi kesejahteraan dapat dilakukan secara merata.

2. Keberanian Kiai As’ad disaat usia senjanya untuk tidak mengikuti shalat Jum’at bersama. Hal ini dimaksud, bahwa orang yang sakit (ﺍﻟﻣﺮﻳﺾ ), dan orang sepuh yang secara fisik sudah lemah, diperbolehkan meninggalkan shalat Jum’at.

3. Kiai As’ad melarang santrinya untuk melaksanakan puasa sunnah secara berlebih, sebenarnya dalam larangan ini tidak ada masalah, namun akan menjadi problem fiqhiyyah yang krsusial ketika melarang hal yang disunnahkan dalam agama. Sebenarnya yang dimaksudkan Kiai As’ad adalah, pekerjaan sunnah semisal puasa sunnah tidak boleh mengganggu pekerjaan wajib, yaitu mencari dan belajar ilmu pengetahuan. Sebagaimana kita maklumi bersama, disaat sedang berpuasa maka fisik akan melemah, yang nantinya akan mengganggu konsentrasi santri dalam belajar di pesantren yang durasi waktunya cukup padat.

Hal lain yang harus dikembalikan dan dipertahankan adalah penekanannya pada nilai-nilai yang dianutnya, seperti kemandirian, kesederhanaan, dan keikhlasan. Nilai-nilai dasar ini dibingkai dengan sebuah paradigma yang sangat menekankan kepada apresiasi terhadap segala tradisi yang baik, sekaligus akomodatif terhadap bentuk-bentuk reformasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Nilai-nilai yang cukup kental di dunia pesantren ini pada prinsipnya merupakan nilai-nilai keagamaan otentik yang memiliki benang merah kuat dengan kesejarahan umat dan normativitas islam haqiqi.

Hasil dari semua itu, adalah hadirnya pesantren sebagai institusi sebagai institusi yang mampu memberikan sumbangan penting dan krusial dalam proses transmisi ilmu-ilmu Islam, reproduksi ulama, pemeliharaan ilmu, dan tradisi Islam. Sebagaimana telah digagas oleh founding fathers Islam di Indonesia (Wali songo) dalam menyampaikan risalah keislaman.

3. Upaya K.H.R. As’ad Syamsul Arifin Dalam Meralisasikan Khittah Pesantren.

Dalam merealisasikan konsep khittah pesantren, Kiai As’ad melakukan berbagai upaya konstruktif dalam mengembangkan pesantren yang diasuhnya, antara lain (Hasan, 2003: 53-71):

1. Melestarikan proses pembelajaran yang berpedoman pada kitab klasik (kitab kuning) karya salafuna al-shalih, antara lain Sullam al-Taufiq, Safinah al-Najah, Ta’lim al-Mutaallim, dll.

2. Mendirikan sekolah umum yang dimulai pada tahun 1980, dengan mendirikan TK, SD, SMP, SMA, dan SMEA. Saat ini lembaga-lembaga tersebut ditambah dengan kehadiran Akademi Komputer dan Komunikasi (AMIKI), serta Akademi Perikanan dan Kelautan (APERIK) (dua lembaga terakhir terealisasi setelah wafatnya Kiai As’ad).

3. Mendirikan Perguruan Tinggi pada tahun 1968 yang diberi nama Universitas Nahdlatul Ulama Ibrahimy (UNNIB), saat ini perguruan tinggi ini berganti nama Institut Agama Islam Ibrahimy (IAII) dengan membuka program sarjana strata satu pada fakultas Tarbiyah, Syari’ah, Dakwah, dan program Magister (pasca sarjana) dibidang pendidikan Islam.

4. Mendirikan Ma’had Aly yang didirikan pada tahun 1990. sebuah lembaga tingkat tinggi yang mengajarkan dan mengembangkan wawasan santri dalam persoalan fiqh. Lembaga ini didirikan sebagai upaya untuk mengantisipasi kelangkaan kader ahli fiqh, selain itu hal ini dilakukan dalam rangka memenuhi wasiat KH. Hasyim Asyarie.

5. Mendirikan masjid dan mengirim santri ke daerah rawan. Hal ini dilakukan oleh beliau dalam rangka memakmurkan syi’ar Islam dan melakukan ekspedisi kedaerah dimana tingkat kesadaran masyarakat tentang Islam masih rendah. Setelah memperoleh pengaruh nyata di masyarakat, santri yang dikirim biasanya dibantu untuk mendirikan pesantren.

6. Membina barisan Pelopor. Barisan pelopor adalah organisasi binaan Kiai As’ad yang terdiri dari sebagian besar adalah dari kalangan bromocora yang kemudian dilibatkan dalam setiap kegiatan keagamaan di pesantren beliau. Sebelumnya, pada masa kemerdekaan barisan pelopor menjadi pendamping setia beliau dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan dari kolonial Belanda (Basri, 1994: 84-88).

Selain itu beliau juga melibatkan diri dalam berbagai persoalan bangsa. Hal ini bisa dilihat dari kiprah beliau dalam mengusir penjajah dari tanah air, menjadi pusat komando penumpasan G 30 S PKI di daerah Eks Karesidenan Besuki, Menjadi fasilitator NU dalam menerima asas tunggal pancasila pada tahun 1983, dan memelopori kembalinya NU pada Khittah 1926 sebagai respon atas larutnya peran ulama dalam politik praksis.

C. Peran Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan, Lembaga Dakwah, dan Lembaga Sosial Dalam Perspektif K.H.R. As’ad Syamsul Arifin

”Santri saya yang hidup bermasyarakat hendaklah ikut memikirkan:

1. Pendidikan Islam

2. Dakwah....

3. Perekonomian Umat

Walaupun tidak terlalu pandai, namun..... jika mereka ikut berperan aktif terhadap salah satu atau bahkan ketiga masalah tersebut; saya yakin insyaallah akan memperoleh kesempurnaan hidup. (Wasiat K.H.R. As’ad Syamsul Arifin) (Arifin, 2000)

Wasiat K.H.R. As’ad Syamsul Arifin diatas seolah merupakan suatu tuntunan sekaligus merupakan pedoman hidup yang harus dilaksanakan oleh santri, sebagai petunjuk untuk mengabdikan ilmunya ditengah-tengah masyarakat. Ketiga wasiat ini dipandang perlu untuk disampaikan untuk menegaskan arah dan wilayah pengabdian keilmuan para santri dan alumni pesantren.

Ketiga wasiat Kiai As’ad diatas merupakan jalan yang harus ditempuh santri untuk memperoleh kesempurnaan ilmunya, yakni ilmu yang betul-betul bermanfaat bagi masyarakat sebagai jalan menuju kesempurnaan hidup. Menurut Kiai As’ad, dalam proses aplikasinya di lapangan tentunya santri akan dihadapkan pada berbagai ujian dan cobaan, namun jika ia lulus dalam ujian tersebut, maka ia akan lulus mengemban misi pesantren (Arifin, 2000: 34)

Ketiga nilai yang diwasiatkan Kiai As’ad di atas sangat sesuai dengan tiga fungsi pesantren yang dikemukakan Mujamil Qomar yaitu sebagai lembaga pendidikan, lembaga, dakwah, lembaga sosial ekonomi (Qomar, 22-26). Berikut ini akan diuraikan secara lebih terperinci tentang ketiga fungsi pesantren dalam perspektif pemikiran K.H.R. As’ad Syamsul Arifin;

1. Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan

Sebagai lembaga pendidikan pesantren dituntut untuk menjadikan dirinya sebagai lembaga yang melakukan proses transfermasi ilmu pengetahuan. Dalam melakukan proses transfermasi ilmu, hendaknya ilmu yang diajarkan betul-betul berdasarkan nilai-nilai tauhid, dengan cara mengenalkan aqidah Ahlus`Sunnah wa al-Jama’ah, karena aqidah ini sudah disetujui oleh Imam al-Asyarie dan Imam al-Maturidi (Arifin, 2000: 18).

Betapa pentingnya nilai-nilai tauhid untuk ditekankan dalam proses pembelajaran hingga Kiai As’ad memperbolehkan masalah-masalah yang berhubungan dengan tauhid bisa dilagukan. Sehingga, manusia akan betul-betul sadar akan ”siapa yang membuat dan menciptakan dirinya?”, dengan harapan, seorang manusia tidak akan terpedaya oleh tipuan duniawi. (Arifin, 2000: 15)

Bagi Kiai As’ad, setiap ilmu yang tidak dijiwai dengan nilai ketauhidan, tidak akan mendapat hasil yang memuaskan. Bahkan, ilmu yang masuk ke lubuk hati seseorang yang kosong muatan tauhidnya, bisa mencelakakan orang tersebut. Nilai tauhid inilah yang akan menjadi penjaga pertahanan keimanan seseorang untuk terhindar dari perbuatan-perbuatan yang dilarang agama.

Menurut Kiai As’ad, seorang pengasuh harus memegang penuh tarbiyah al-aulad (pendidikan santri), karena dalam pandangan beliau dinamika pendidikan saat ini masih kabur. Adakalanya suatu lembaga dikatakan lembaga pendidikan umum, ternyata bukan umum. Sebaliknya, disebut bukan umum, ternyata umum. Meskipun ada sebagian yang tergolong lembaga pendidikan umum dan berhasil mencetak kader, namun jumlahnya masih terbatas.

Menurut Kiai As’ad, pendidikan pesantren harus betul-betul salaf sesuai dengan karya-karya ulama ahlus sunnah terdahulu. Sehingga, secara otomatis, karya ulama mutaakhkhirin yang tidak mengacu pada karya-karya ulama terdahulu harus ditolak. Dalam analisa Kiai As’ad, karya ulama-ulama terdahulu merupakan hasil karya intelektual yang telah melalui uji kelayakan baik secara ilmiah maupun spiritual.

Kiai As’ad juga sangat tidak menghendaki adanya campur tangan orang luar dalam masalah internal pesantren. Artinya kemandirian pesantren harus betul-betul terjaga. Seandainya ada partisipasi pihak luar yang ingin membantu pesantren, tidak akan menjadi masalah, karena pada hakikatnya, bantuan tersebut semata-mata dalam rangka ikhsan atau amal jariyah, sehingga tidak akan berpengaruh terhadap proyek pengembangan pesantren.

2. Pesantren Sebagai Lembaga Dakwah

Sebagai lembaga dakwah, pesantren dituntut untuk menampilkan dirinya sebagai lembaga yang memiliki visi dan misi sebagai pembawa syiar Islam, dengan cara menyampaikan dan memperkenalkan syariat Islam kepada masyarakat. Sebagaimana tercermin pada perkembangan Islam di masa walisongo, pada masa tersebut, para wali menjadikan berbagai media sebagai sarana dakwah.

Dalam pandangan Kiai As’ad, sudah selayaknya civitas pesantren banyak mengambil peran dalam bidang dakwah, mengingat materi dakwah sebenarnya telah banyak diajarkan di pesantren. Sehingga di harapkan dengan banyaknya materi pelajaran keagamaan yang di peroleh dari pesantren, dapat disebarkan di masyarakat. Dalam hal ini Kiai As’ad mengutip sebuah hadits yang cukup populer; ﺨﻴﺮﺍﻠﻧﺎﺲﺍﻨﻔﻌﻬﻢﻠﻧﺎﺲ” (sebaik-baik manusia, adalah yang bisa memberikan manfaat bagi manusia yang lain). Dengan kata lain, berbagai pelajaran yang telah di peroleh dari pesantren hendaknya diajarkan kembali pada masyarakat.

Para pengurus pesantren dan para alumni juga diminta untuk terus memantau sejauhmana perkembangan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap agama, lebih-lebih masalah tauhid. Mengingat masalah ini seringkali ditinggalkan oleh para da’i. Oleh karenanya, para pengurus dan alumni pesantren harus tampil sebagai penjaga aqidah dan moral masyarakat. (Arifin, 2000: 76)

3. Pesantren Sebagai Lembaga Sosial

Peran pesantren sebagai lembaga sosial juga menjadi perhatian serius bagi Kiai As’ad. Dimana salah satu dari tiga wasiat beliau adalah bagaimana santri agar ikut memainkan peran dalam berbagai problematika sosial. Sehingga santri bisa lebih mendekatkan diri kearah pengabdian masyarakat secara langsung, dengan cara lebih aktif dalam memberikan kontribusi nyata terhadap berbagai problematika sosial masyarakat sebagaimana yang telah dilakukan oleh walisongo.

Kiai As’ad sendiri dikenal sebagai salah satu figur yang berasal dari pesantren yang cukup banyak memberikan kontribusi positif dalam rangka membangun tatanan masyarakat yang beradab, ber-keadilan sosial, dan religius. Sebagaimana telah banyak disinggung dalam pembahasan sebelumnya, Kiai As’ad selalu hadir sebagai sosok yang betul-betul serius memperjuangkan kepentingan agama dan masyarakat.

Abdurrahman Wahid menyatakan, pada masa awal kemerdekaan, Kiai As’ad pernah bertentangan pendapat dengan guru yang sangat di idolakan oleh beliau; Khadharatusy Syaikh K.H. Hasyim Asy’arie dan K.H. A. Wahid Hasyim. Hal ini dikarenakan kedua guru beliau memutuskan menerima pancasila, sedangkan Kiai As’ad menolak pancasila. Hal ini dilakukan oleh Kiai As’ad agar agama Islam tidak sampai luntur dan tergantikan oleh pancasila. (Arifin, 2000: 87)

Pada tahun 1983, Gus Dur (Abdurrahman Wahid) menyampaikan kabar Kiai As’ad, bahwa umat Islam Khususnya warga NU diminta menerima pancasila oleh pemerintah (hal ini sesuai keputusan pendapat para alim ulama yang tergabung dalam panitia kecil tentang asas, pimpinan K.H. Achmad Shiddiq, Jember).

Satu-satunya pertanyaan Kiai As’ad kepada Gus Dur waktu itu adalah; ”Apakah Pancasila nantinya menggantikan Islam?”. Baru kemudian Gus Dur menjelaskan kepada beliau bahwa Pancasila tidak akan menjadi pengganti agama Islam, dan pancasila tidak akan dijadikan alat untuk melawan Islam, bahkan sila pertama dalam Pancasila sejalan dengan ajaran utama dalam Islam yakni tauhid, barulah Kiai As’ad bersedia menerima pancasila. Hal semacam inilah yang menunjukkan cara beliau memandang Islam sangat besar.

Tentunya, peran pesantren sebagai lembaga sosial harus tetap berpegang teguh pada nilai-nilai dan tradisi yang selama ini dianut, agar peran yang ditampilkan pesantren berbeda dengan peran yang di tampilkan oleh lembaga lain.

D. Urgensi Pesantren Dalam Melakukan Transformasi Sosial Perspektif K.H.R. As’ad Syamsul Arifin

Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, dalam mengembangkan pesantren yang diasuhnya, Kiai As’ad banyak melakukan berbagai terobosan inovatif sebagai wujud dari respon beliau terhadap tuntutan realitas masyarakat, tanpa harus meninggalkan tradisi salaf pesantren itu sendiri.

Adapun beberapa upaya Kiai As’ad dalam mengembangkan pesantrennya dapat dilihat dari beberapa hal: Pertama, dalam mengembangkan sistem kurikulum pesantren, beliau tetap melestarikan berbagai tradisi pesantren salaf yang mengajarkan berbagai kitab klasik (kitab Kuning) dengan metode khas pesantren; sorogan, wetonan, dan bandongan.

Kedua, dalam mengembangkan pendidikan pesantren, beliau melakukan upaya untuk melengkapi berbagai tingkatan pendidikan mulai dari TK sampai dengan Perguruan Tinggi (bahkan sampai pasca sarjana), ditambah dengan sekolah tinggi dalam bidang kader ahli fiqh (Ma’had Aly), dan berbagai upaya lain yang ditempuh dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di pesantren beliau. Sehingga, pesantren beliau tidak hanya melahirkan kader-kader ulama, melainkan juga bisa melahirkan kader-kader intelektual dalam bidang non agama. Hal ini sesuai dengan semboyan yang seringkali disampaikan beliau; “Menyantrikan Pelajar dan Mempelajarkan Santri”. (Hasan, 2003: 60)

Dalam kurikulum Ma’had Aly terdapat perpaduan kemampuan membaca teks klasik secara teliti dengan pengembangan wawasan yang terdapat dalam teks, terutama dalam bidang fiqh dan ushul fiqh. Diantara kitab rujukannya terdapat; Jami’ al-Jawami’, Ushul Fiqhnya Abdul Wahab Khalaf, Fath al-Wahhab, Minhaj at-Thalibin, dan Fiqh al-Islami wa Adillahtuhu karya Wahbah az-Zuhaily. Selain itu, dalam melakukan perbandingan kajian atas proses pembelajaran yang ada, seringkali Ma’had Aly menghadirkan berbagai tokoh yang dianggap liberal seperti: Nashr Hamid Abu Zayd, Alm Nur Cholis Madjid, Ulil Abshar Abdalla, Abdul Muqsith Ghazaly, Masdar Farid Mas’udi, dll.

Secara etimologi, Ma’had Aly berarti “pesantren tinggi” setingkat dengan perguruan tinggi atau institut. Sedangkan secara terminologi, Ma’had Aly adalah lembaga pendidikan pasca pendidikan setingkat SLTA sebagai kader-kader ulama. Dari sudut pandang sosiologis Ma’had Aly dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk institusionalisasi tradisi dan etika kesarjanaan dilingkungan pesantran yang berbasis pada program kajian takhassus (spesifikasi) yang telah berkembang puluhan tahun. (Basyuni, 2007: 218)

Ma’had Aly dipandang sebagai salah satu pendidikan alternatif pendidikan tinggi agama Islam karena kekhususannya itu (dalam penekanan kurikulum Ma’had Aly yang diasuh Kiai As’ad lebih mengkhususkan diri pada pengembangan ilmu fiqh dan ushul fiqh). Dibanding pendidikan kesarjanaan pada umumnya, Ma’had Aly lebih berkarakter dan penuh kompetensi dalam penguasaan khazanah Islam. Oleh sebab itu, Ma’had Aly bercita-cita melahirkan ulama ditengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam melakukan pembaruan kurikulum dan metodologi sehingga alumninya diharapkan mampu beradaptasi dengan kemajuan zaman.

Perpaduan konsep salaf dan modern di pesantren Kiai As’ad telah menghadirkan sebuah wajah baru pesantren yang memiliki wawasan salaf tapi peka terhadap realitas sosial, juga sebagai produsen intelektual salaf. Sejalan dengan harapan beliau untuk memilki santri dengan karakter salaf namun responsif, beliau juga berharap untuk sedapatnya mencetak santri dengan kapabilitas keilmuan umum namun tetap berkarakter salaf.

Sejak awal kelahirannya, pesantren tumbuh berkembang dan tersebar diberbagai pedesaan. Keberadaan pesantren sebagai lembaga keislaman yang sangat kental dengan karakteristik Indonesia ini memiliki nilai-nilai strategis dalam pengembangan masyarakat Indonesia. Realitas menunjukkan pada satu sisi, sebagian besar penduduk Indonesia terdiri dari umat Islam, dan pada sisi yang lain, mayoritas dari mereka tinggal di pedesaan.

Berdasarkan realitas tersebut, pesantren sampai saat ini memiliki pengaruh cukup kuat pada hampir seluruh aspek kehidupan dikalangan muslim pedesaan yang taat. Kuatnya pengaruh pesantren tersebut membuat setiap pengembangan pemikiran dan interpretasi keagamaan yang berasal dari luar kaum elit pesantren tidak akan memiliki dampak signifikan terhadap perjalanan hidup (way of live) dan sikap masyarakat Islam didaerah pedesaan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa setiap upaya yang ditujukan untuk pengembangan masyarakat terutama didaerah-daerah pedesaan perlu melibatkan pesantren.

Secara substansial, pesantren merupakan institusi keagamaan yang tidak mungkin bisa dilepaskan dari masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan. Lembaga ini tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat dengan memposisikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat dalam pengertiannya yang transformatif.

Dalam konteks ini pendidikan pesantren pada dasarnya merupakan pendidikan yang sarat dengan nuansa transformasi sosial. Pesantren berikhtiar meletakkan visi dan kiprahnya dalam kerangka pengabdian sosial yang pada mulanya ditekankan kepada pembentukan moral keagamaan dan kemudian dikembangkan kepada rintisan-rintisan pengembangan yang lebih sistematis dan terpadu.

Menurut Abdul A’la, pada awal berdirinya pesantren, pengabdian pesantren terhadap masyarakat, sesuai zamannya, berbentuk sangat sederhana dan sangat alami. Pengabdian tersebut diwujudkan, misalnya, dengan pelayanan keagamaan kepada masyarakat, menyediakan wadah bagi sosialisasi anak-anak, dan sebagai tempat para remaja yang datang dari berbagai daerah untuk menjalani semacam “ritus peralihan” dari fase remaja ke fase selanjutnya. Dalam bentuk seperti itu, pesantren terlibat aktif dalam pengkajian keagamaan dan pola-pola sejenis yang dikembangkan dimasyarakat luas. (2006: 3)

Kegiatan pesantren ini merupakan benih sangat potensial yang nantinya menjadikan pesantren sebagai salah satu alternatif dalam upaya pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di Indonesia. Hal itu terbukti ketika pesantren terlibat aktif dalam berbagai kegiatan yang mengarah kepada kebutuhan riil masyarakat, seperti pengembangan ekonomi, pelestarian lingkungan, dan penggunaan teknologi alternatif.

Hasil upaya rintisan itu cukup mengesankan, karena sampai derajat tertentu, pesantren telah mampu membuat masyarakat menyadari tentang arti kehidupan dan mengetahui persoalan konkret yang mereka hadapi, sehingga mereka tidak gamang serta lebih berpotensi dalam menyikapi setiap problematika hidup.

Pengabdian masyarakat yang dilakukan pesantren itu merupakan manifestasi dari nilai-nilai yang dianut pesantren, nilai pokok yang selama ini berkembang dalam komunitas santri, adalah; seluruh kehidupan ini diyakini sebagai ibadah. Maksudnya, kehidupan duniawi di-subordinasikan dalam rangkuman nilai-nilai yang telah dianut sebagai sumber nilai tertinggi. Dari nilai pokok ini, berkembang nilai-nilai luhur yang lainnya, seperti nilai-nilai keikhlasan, kesederhanaan, dan kemandirian. Nilai-nilai tersebut merupakan dasar yang dijadikan landasan pesantren dalam proses pendidikan dan pengabdian masyarakat, yang pada tahap selanjutnya, dikembangkan sebagai nilai yang perlu menjadi anutan masyarakat luas.

Fenomena yang berkembang akhir-akhir ini menunjukkan bahwa pesantren belum bisa sepenuhnya membumikan nilai-nilai akhlaq sebagai bagian intrinsik keberagaman masyarakat yang memiliki hubungan dengan pesantren. Padahal, sejatinya pemberdayaan masyarakat dalam perspektif pesantren merupakan upaya pengembangan masyarakat agar mereka menjadi masyarakat yang berperadaban, mandiri, dan sejahtera sesuai nilai ajaran Islam yang menjadi anutan pesantren. (A’la’, 2006: 6)

Proses trasformasi dan pembangunan sosial bukan saja menjadi milik dan tanggung jawab pemerintah, melainkan milik dan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat (termasuk pesantren). Hanya saja keberadaan pesantren tidak meniliki kewenangan langsung untuk merumuskan kebijakan sehingga perannya dikategorikan sebagai partisipasi. Dalam hal ini, pesantren melalui kiai dan santri didikannya cukup potensial untuk turut menggerakkan masyarakat secara umum. Sebab, bagaimanapun keberadaan kiai sebagai elit sosial agama menempati posisi dan peran sentral dalam struktur sosial masyarakat Indonesia.

Fakta dilapangan saat ini, masih menunjukkan pesantren baru sebatas berupaya memajukan diri, itupun masih dalam taraf tertentu, belum menyeluruh dan bahkan ada beberapa pesantren yang masih menolak untuk mereformasi diri. Sementara untuk memberikan pencerahan (tsaqafah), dan pembangunan budaya (hadlarah) masih membutuhkan waktu yang luar biasa panjang dan perjuangan yang tidak mudah. (Basyuni, 2007: 281)

Untuk itu, kehadiran khittah pesantren menjadi sangat urgen sekali, sebagai suatu pola pemberdayaan pesantren yang telah terbukti mampu menjawab berbagai problematika masyarakat. Dalam hal ini realitas pesantren pada masa wali songo harus betul-betul dijadikan pijakan dan cerminan dalam merumuskan setiap arah kebijakan pesantren.

Sebagaimana telah disebut diatas, ada lima hal yang tidak bisa dilepaskan untuk merumuskan cita-cita khittah pesantren perspektif K.H.R. As’ad Syamsul Arifin, yaitu:

1. Pesantren harus berpegang teguh pada nilai-nilai salaf.

2. Niat seorang santri harus diorientasikan pada kepentingan akhirat, bukan untuk meraih kedudukan duniawi.

3. Niat seorang santri harus murni dalam rangka mengaji dan belajar.

4. Dalam belajar, nilai-nilai ikhlas harus tertanam, belajar bukan untuk meraih gelar.

5. Pesantren harus bisa mencetak pemimpin, bukan pegawai.

Kalau kita menganalisa lebih jauh tentang kelima tawaran K.H.R. As’ad, akan ditemukan berbagai nilai pokok yang menjadi sokoguru tegaknya bangunan eksistensi pesantren pada masa wali songo. Pertama, kiai As’ad memandang karakter salaf sebagai suatu tradisi utama yang harus dipertahankan oleh pesantren sampai kapanpun. Karena, dari salafisme inilah pesantren dilahirkan dan dibesarkan, sekaligus sebagai benteng pertahanan terakhir dari serangan modernisme.

Kedua, kiai As’ad menegaskan kedudukan ukhrawi disamping duniawi sebagai suatu paradigma berfikir masyarakat pesantren agar tidak terjebak kedalam paradigma materialisme dan pragmatisme, dimana kehidupan ukhrawi jelas lebih utama dari pada kehidupan duniawi. Dengan kata lain, seluruh aktivitas duniawi, hendaknya diarahkan untuk mencapai kebahagiaan akhirat.

Ketiga, komitmen belajar santri harus betul-betul dimantapkan dalam rangka al-Thalab al-Ilm, adapun capaian dari konsep ini adalah terbentuknya komitmen belajar santri yang betul-betul kokoh, sehingga cita-cita santri dalam belajar akan tercapai. Dengan komitmen belajar yang tinggi diharapkan terbentuk mental-mental pecinta ilmu sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

Keempat, mencari gelar dalam belajar adalah indikasi pragmatisme, sehingga target mencari gelar dalam belajar perlu ditinggalkan. Karena belajar adalah suatu proses pembebasan manusia dari segala belenggu yang mampu memberikan pencerahan (enlightment) hidup. Sementara gelar adalah sebatas kebutuhan formalis untuk menegaskan tingkatan pendidikan dan kapabilitas keilmuan yang dimiliki seseorang, dan tidak masuk pada ranah substansial dalam proses belajar.

Kelima, pada point terakhir ini Kiai As’ad betul-betul menginkan agar terlahir kader-kader handal yang kreatif dan siap mengapresiasikan segenap potensi keilmuan yang diperoleh selama menempuh studi di pesantren. Point ini sekaligus sebagai penegasan terhadap langkah pembaharuan pesantren disegala bidang sebagai respon atas tuntutan zaman. Dimana Kiai As’ad menginginkan lahirnya kader Sunan Drajat (ekonom), Sunan Kudus (fuqaha’), Sunan Kalijaga (Budayawan), Raden Fatah (politikus), dan sebagainya.

Salah satu urgensi riil khittah pesantren yang digagas Kiai As’ad, khususnya bagi masyarakat sekitar pesantren Sukorejo, adalah dirintisnya sekolah maritim untuk mengelola potensi masyarakat sekitar. Pesantren yang nyaris bersebelahan dengan laut ini memang menampung banyak anak-anak nelayan. Kolonialisme Belanda telah berhasil mengikis mereka dari pengaruh laut. Mereka dengan sengaja mengubah dari masyarakat maritim menjadi masyarakat agraris. Belanda berhasil menarik keuntungan dari sifat agraris ini. Rempah-rempah, gula dan sebagainya, diangkut ke Eropa.

Ide ini bermula dari masukan Mahbub Djunaidi pada Oktober 1987, yang ditindak lanjuti sendiri oleh Kiai As’ad dengan bertemu langsung dengan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Fuad Hassan. Tanggapan Mendikbud pada waktu itu adalah; kesulitan terpokok untuk merealisasikan rencana tersebut bukannya masalah peralatan, melainkan pada tenaga pengajarnya (Basri, 1994: 102-104). Rencana sekolah kemaritiman ini baru terwujud ketika Kiai As’ad wafat, yang kemudian bernama Akademi Perikanan dan Kelautan (APERIK) Ibrahimy yang bernaung dibawah Institut Agama Islam Ibrahimy (IAII) Sukorejo, Situbondo.

Termasuk salahsatu kepedulian sosial beliau, adalah ketika masyarakat sekitar pesantren membutuhkan tanah untuk tempat tinggal, beliau secara sukarela memberikan tanahnya kepada masyarakat yang membutuhkan. Dari hal inilah hendaknya kita mengambil sebuah pelajaran berharga, bahwasanya dari perjuangan dan kerja keras yang dilandasi dengan sikap ikhlas akan melahirkan sebuah pengaruh besar di masyarakat dalam rangka melakukan sebuah transformasi sosial, dan peran ini telah dilakukan dengan sangat baik oleh K.H.R. As’ad Syamsul Arifin, sehingga beliau telah mampu mewujudkan peradaban pesantren yang betul-betul peduli terhadap peroblematika sosial.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kiprah Kiai As’ad dalam berbagai persoalan baik tingkat lokal sampai regional, telah menunjukkan komitmen beliau untuk konsisten dalam merealisasikan khittah pesantren dan juga menunjukkan betapa urgennya peran khittah pesantren dalam melakukan transformasi social.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. K.H.R. As’ad Syamsul Arifin merupakan deretan para ulama di Tanah Air yang menonjol dan sekaligus unik. Sosok yang memiliki keteguhan prinsip dan berwawasan luas ini sangat dihormati semua orang. Hal ini berangkat dari luasnya cakrawala pemikirannya yang seolah tanpa lelah mengitari setiap persoalan aktual yang menimpa masyarakat dan bangsanya.

2. Adapun yang menjadi pokok pemikiran K.H.R. As’ad Syamsul Arifin tentang khittah pesantren adalah sebagai berikut:

o Pesantren harus berpegang teguh pada nilai-nilai salaf;

o Niat seorang santri harus diorientasikan pada kepentingan akhirat, bukan untuk meraih kedudukan duniawi;

o Niat seorang santri harus murni dalam rangka mengaji dan belajar;

o Dalam belajar, nilai-nilai ikhlas harus tertanam, belajar bukan untuk meraih gelar;

o Pesantren harus bisa mencetak pemimpin, bukan pegawai.

3. Menurut Kiai As’ad, pesantren sebagai lembaga pendidikan harus mampu melakukan proses transfermasi ilmu pengetahuan dengan tetap berdasar pada nilai-nilai tauhid, sesuai dengan ajaran Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah. Sebagai lembaga dakwah, pesantren harus tampil sebagai lembaga yang menyampaikan dan memperkenalkan masyarakat pada syariat Islam. Adapun fungsi pesantren sebagai lembaga sosial menempatkan pesantren sebagai lembaga yang akan mengabdikan diri pada setiap persoalan masyarakat.

Setelah menelusuri lebih jauh tentang arah pemikiran khittah pesantren perspektif K.H.R. As’ad Syamsul Arifin, peneliti berkesimpulan bahwa nilai-nilai pengembangan pendidikan pesantren pada masa walisongo memang sangat perlu untuk di hadirkan kembali sebagai landasan pengembangan pendidikan pesantren saat ini. Dimana kita bisa melihat adanya kesenjangan yang cukup kontras antara pola pengembangan pendidikan pesantren pada masa walisongo dengan pola pengembangan pendidikan pesantren saat ini.

Pada pola pengembangan pendidikan pesantren di era walisongo, kita akan menemukan sebuah pola pengembangan pendidikan pesantren dengan model tradisional klasik yang betul-betul berpegang teguh pada nilai-nilai salafiyah (kemandirian, kebebasan, keikhlasan, kesederhanaan, dan ukhuwah Islamiyah), namun berhasil menempatkan dirinya di tengah persoalan masyarakat yang multikultural. Mereka berhasil memainkan peran strategis pesantren sebagai lembaga pendidikan, lembaga dakwak, maupun lembaga sosial, yang pada akhirnya kapasitas pesantren mampu menjadi rujukan kehidupan beragama, bermasyarakat, dan bernegara.

Dalam pengembangan pendidikan pesantren saat ini, terdapat dua kelompok yang satu dengan lainnya berbeda pendekatan dalam mengembangan pesantren. Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa pesantren harus tetap orisinil dari pengaruh budaya pendidikan modern. Sehingga, pesantren cenderung eksklusif bahkan tertutup untuk melakukan respon sosial. Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa pesantren perlu melakukan adaptasi dengan pola pendidikan modern mengingat hal ini diyakini sebagai tuntutan zaman, dalam hal ini banyak sekali pesantren yang tidak mampu mempertahankan tradisi salafiyahnya ketika di elaborasikan dengan pola pendidikan modern. Akhirnya pesantren lambat laun akan kehilangan identitas aslinya, sebagai pusat trnasmisi ilmu keislaman tradisional, penjaga keberlangsungan Islam tradisional, dan sebagai pusat reproduksi ulama.

Dalam hal ini, Kiai As’ad menawarkan kontribusi pemikirannya, sebagai jawaban dari kebekuan ijtihad pendidikan pesantren. Kiai As’ad memandang bahwa nilai-nilai salafiyah harus tetap terpelihara dan dilestarikan sebagai kekayaan budaya pesantren. Namun disisi yang lain beliau juga sangat menganjurkan agar pesantren mampu berinteraksi secara kritis terhadap realitas dan kemajuan zaman.

Artinya, pesantren memang dituntut untuk melahirkan kembali Sunan Drajat (ekonom), Sunan Kudus (fuqaha’), Sunan Kalijaga (seniman), Sunan Gunung Jati (pakar militer), Raden Fatah (politikus), dan lain sebagainya. Namun yang perlu diperhatikan dari beberapa produk pesantren diatas, mereka kesemuanya selain dikenal dengan berbagai keahlian seerti diatas, mereka juga dikenal sebagai santri dengan tingkat pemahaman terhadap ajaran Islam yang tinggi, serta mampu mengamalkan sebagian besar ilmunya (terutama ilmu yang di dapat dari pesantren).

Dengan kata lain, sudah saatnya kader pesantren kembali tampil dalam mengatasi berbagai krisis multidimensi yang sedang melanda negeri ini. Yaitu, munculnya neo-walisongo yang berperilaku salaf dan berwawasan modern, sehingga mampu menjawab berbagai problematika sosial secara proporsional, tanpa meninggalkan nilai-nilai salafiyah.

B. Saran-Saran

1. Khittah pesantren adalah sebuah tawaran solusi untuk meretas kebekuan ijtihad yang selama ini dilakukan pesantren, sebagai upaya untuk menjembatani gerakan kependidikan pesantren untuk menjawab tantangan problematika kemanusiaan. Oleh sebab itu, khittah pesantren sangat representatif untuk dikembangkan dalam pola pengembangan pesantren saat ini. Karena didalamnya terkandung nilai-nilai orisinil pesantren yang dikembangkan oleh wali songo untuk menjawab berbagai problematika sosial kemanusiaan baik yang bersifat Ukhrawi ataupun Duniawi.

2. Adanya tindak lanjut dari penelitian ini, sebagai upaya pengembagangan dan pendalaman dari penelitian yang telah kami lakukan.

DAFTAR PUSTAKA

A, Rofiq, dan Tim, 2005, Pemberdayaan Pesantren Menuju, Kemandirian dan Profesionalisme Santri dengan Metode Daurah Kebudayaan, Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara;

Al-Isyroq. Edisi 09/TH.II/Januari-Februari 1998;

Arifin, As’ad Syamsul, 2000, Percik-Percik Pemikiran Kiai Salaf-Wejangan Dari Balik Mimbar, Situbondo: Bp2m P.P Salafiyah Syafiiyah;

Arifin, Imron, Ed, 1996, Penelitian Kualitatif Dalam Ilmu-Ilmu Sosial dan Keagamaan, Malang, Kalimasahada Press;

Asyarie, M.Hasyim, 2007, Etika Pendidikan Islam, Petuah KH. M. Hasyim Asyarie Untuk Para Guru (Kiai) dan Murid (Santri), Yogyakarta: Titian Wacana;

A’la, Abd, 2006, Pembaharuan Pesantren, Yogyakarta: Pustaka Pesantren;

Bagir, dan Tim, Ed, 2005, Interpretasi Ilmu dan Agama Interpretasi Untuk Aksi, Yogyakarta: SUKA Press;

Basri, Hasan, 1994, K.H.R. As’ad Syamsul Arifin Riwayat Hidup dan Perjuangannya, Semarang: CV. Toha putra;

Basuni, M. Maftuh, 2007, Revitalisasi Spirit Pesantren, Gagasan, Kiprah, dan Refleksi, Jakarta: Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Direktorat Jendral Pendidikan Islam Departemen Agama Republik Indonesia;

Bruinessen, Martin Van, 1999, NU-Tradisi-Relasi Kuasa-Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LKIS;

Dhofier, Zamakhsyari, 1994, Tradisi Pesantren-Studi Tentang Pandangan Hidup

Kiai, Jakarta: LP3ES;

Faely, Greg, 2007, Ijtihad Politik Ulama’-Sejarah Nu 1952-1967, Yogyakarta: LKIS;

Hamidi, 2005, Metode Peneliatian Kualitatatif: Malang: UMM Press;

Hasan, Syamsul A, 2003, Kharisma Kiai As’ad di Mata Umat, Yogyakarta, LKIS;

KH, U Maman, dan Tim, 2006, Metodologi Penelitian Agama, Jakarta: PT. Rajawali Press;

Khozin, 2006, Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia-Rekonstruksi Sejarah Untuk Aksi, Malang: UMM Press;

Moleong, J lexy, 2007, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya;

Muhaimin, 2004, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar;

Partanto, Pius A, dan Barry, M Dahlan, 1994, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola;

Qomar, Mujamil, 2007, Pesantren Dari Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga;

Subagyo, P. Joko, 1999, Metodologi Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta;

Santri (Majalah Rabithah Ma’ahid Islamiyah) No. 7-19/Juli 1997-Desember 1998;

Sulton, M dan Khusnurridlo, M, 2006, Manajemen Pesantren Dalam Perspektif Global, Yogyakarta: Laksbang Press;

Surakhmad, Winarno, 1978, Paper, Skripsi, Tesis, Disertasi, Buku Pegangan, Cara Merencanakan, Cara Menulis, Cara Menilai, Bandung: Tarsito;

Suryabrata, Sumadi, 1998, Metodologi Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada;

Team Revisi, 2002, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Jember: STAIN;

Tolkhah, Imam, dan Barizi, Ahmad, 2004, Membuka Jendela Pendidikan-Mengurai Akar Tradisi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada;

Yunus, Firdaus M, 2005, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial-Paulo Freire dan Y.B. Mangunwijaya, Yogyakarta: Logung Pustaka;

Zed, Mestika, 2004, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia;

Zuhri, Syaifuddin, 2001, Guruku Orang-Orang Dari Pesantren, Yogyakarta: LKIS.

Tags: skiripsi


PROPOSAL PENELITIAN

A. Judul Penelitian

Khittah Pesantren Perspektif K.H.R. As’ad Syamsul Arifin”

B. Latar Belakang Masalah

Pesantren sebagai model lembaga pendidikan Islam pertama yang mendukung kelangsungan sistem pendidikan nasional, selama ini tidak diragukan lagi kontribusinya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sekaligus mencetak kader-kader intelektual yang siap untuk mengapresiasikan potensi keilmuannya di masyarakat (Tolkhah dan Barizi: 2004: 49). Dalam perjalanan misi kependidikannya, pesantren mengalami banyak sekali hambatan yang sering kali membuat laju perjalanan ilmiah pesantren menjadi pasang surut.

Hal ini tidak terlepas dari peran dan ketokohan seorang kiai sebagai pemegang otoritas utama dalam pengambilan setiap kebijakan pesantren. Sebagai seorang top leader, kiai diharapkan mampu membawa pesantren untuk mencapai tujuannya dalam mentransformasikan nilai-nilai ilmiah (terutama ilmu keagamaan) terhadap umat (baca: santri) sehingga nilai-nilai tersebut dapat mengilhami setiap kiprah santri dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Dalam sejarahnya pesantren telah mampu mencetak kader-kader handal yang tidak hanya dikenal potensial, akan tetapi mereka telah mampu mereproduksi potensi yang dimiliki menjadi sebuah kehlian yang layak jual. Seperti halnya di era pertama munculnya pesantren, yaitu pada masa kepemimpinan wali songo pesantren telah mampu melahirkan kader-kader seperti Sunan Kudus (Fuqoha’), Sunan Bonang (Seniman), Sunan Gunung Jati (Ahli Strategi Perang), Sunan Drajat (Ekonom), Raden Fatah (Politikus dan Negarawan), dan wali-wali yang lain(.A’la, 2006: 17). Mereka telah mampu menundukkan dominasi peradaban majapahit yang telah berkuasa selama berabad-abad, yang dikenal sebagai suatu kerajaan dengan struktur pemerintahan dan pertahanan negara yang cukup disegani dikawasan Asia tenggara.

Menurut K.H.R. As’ad Syamsul Arifin, saat ini ternyata pesantren seolah sudah mulai kehilangan daya kekebalannya untuk membendung arus modernisasi dan westernisasi yang sudah mulai menggejala sejak pertengahan abad ke XX. Banyak sekali pesantren-pesantren salaf yang mulai merubah orientasi pendidikannya menjadi pola pendidikan kebarat-baratan. Menurut beliau bukannya pesantren tidak boleh modern, akan tetapi semangat untuk mengakomodir tuntutan zaman (baca: Modernisasi) haruslah disertai dengan konsistensi terhadap nilai-nilai yang dianut, yakni nilai-nilai salafiyah. ( 2000; 45)

Nilai-nilai salafiyah harus tetap menjadi prinsip sebagai benteng utama dalam menetralisir aspek-aspek negatif yang ditimbulkan dari dampak modernisasi yang saat ini mulai mempopulerkan diri dalam ranah pendidikan di Indonesia termasuk lembaga pendidikan pesantren. Sehingga pesantren tidak dikatakan latah dan cenderung menjadi bulan-bulanan peradaban modern yang kandungan nilai-nilainya tidak kesemuanya sesuai dengan prinsip-prinsip salaf.

Adapun orientasi khittah pesantren sendiri diharapkan mampu untuk memenyegarkan kembali pemahaman konsep salafiyah pesantren yang mulai kehilangan identitasnya dalam belantara pendidikan pesantren di Indonesia. Dalam pandangan kiai As’ad, saat ini pesantren seolah lebih serius membangun paradigma pendidikan ala modern tanpa diiringi konsistensi terhadap sistem pendidikan salaf yang pada awalnya menjadi platform dari perjuangan pendidikan pesantren. Akibatnya pembacaan terhadap produk pesantren akan mengalami ambiguitas dalam hal kompetensi.

Hal ini menjadi sangat logis sekali ketika hampir semua lembaga pendidikan di Indonesia termasuk sebagian pesantren yang mulai berlomba-lomba mencetak teknokrat dan ilmuan dengan berbagai gelar akademis, sementara disisi yang lain tugas utama pesantren untuk mencetak kader-kader fuqoha’ dan pemuka agama mulai kurang mendapat perhatian. Akankah pesantren harus mendukung realitas kehampaan spritual yang sedang menggejala di masyarakat modern saat ini?

Sementara yang terjadi saat ini pesantren dengan sederetan argumentasi yang banyak dikemukakan para pengelolanya, berdalih bahwa apa yang dilakukan mereka semata-mata dalam rangka menjembatani nilai-nilai tradisionalisme pesantren dengan nilai-nilai modern yang saat ini banyak digandrungi oleh semua kalangan. Hal ini direalisasikan dengan didirikannya sekolah-sekolah umum, laboratorium, dll. Dengan adanya fasilitas-fasilitas tersebut diharapkan ada penyeimbangan antara materi pokok di pesantren yang berbasiskan kitab kuning dengan materi-materi pelajaran umum (A’la, 2006: 21).

Respon pesantren terhadap gejala-gejala modernisme dapat dilacak dengan berbagai gerakan inovatif yang seringkali mengaburkan idealismenya sebagai pemegang tradisi salaf. Sehingga akar tradisi yang sejak semula menjadi sesuatu yang sakral, saat ini harus tergantikan dengan kultur modern tanpa disertai upaya untuk menetralisir sistem yang cenderung merusak tradisi salafnya. Tanpa adanya upaya ini (penetralisiran sistem), nilai-nilai salafiyah akan menjadi simbol-simbol formalistik yang terabaikan dalam perilaku masyarakat pesantren.

Untuk itu, merupakan suatu keharusan untuk mengembalikan pendidikan pesantren pada nilai hakikinya (kembali ke khittah). Hal ini didasarkan pada tugas pesantren yang sejatinya berorientasi pada pemeliharaan dan pembumian (baca: kontekstualisasi) nilai-nilai salaf dalam realitas kehidupan masyarakat. Hal ini sejalan dengan semangat Islam, sebagai agama yang mengajarkan umatnya untuk melakukan pembebasan secara keseluruhan dari segala belenggu yang akan mereduksi nilai-nilai kemanusiaan (A’la, 2006: 11).

C. Alasan Pemilihan Judul

Sebagai upaya melegitimasi kriteria dalam penelitian, peneliti akan menguraikan beberapa alasan argumentatif mengapa peneliti memilih judul Khittah Pesantren Perspektif K.H.R. As’ad Syamsul Arifin, yang kemudian akan disesuaikan dengan beberapa faktor yang harus dipenuhi oleh peneliti.

Dalam penelitian ilmu pendidikan (Tarbiyah), pemilihan judul ini sebenarnya terdapat beberapa alasan mendasar yang menjadi latar belakang kajiannya, sehingga penelitian ini dapat dipertangung jawabkan secara akademis dan ilmiah. Adapun alasan-alasan tersebut sebagai berikut:

1. Alasan Objektif

1. Judul ini dipilih karena pesantren merupakan salah satu pendidikan Islam tertua di Indonesia yang masih eksis.

2. Pentingnya menelusuri pemikiran K.H.R. As’ad Syamsul Arifin sebagai salah satu pengasuh pondok pesantren terbesar di Indonesia.

3. Pentingnya gagasan tentang khittah pesantren untuk menjembatani arus transformasi gerakan pendidikan pesantren di era modern.

2. Alasan Subjektif

1. Judul diatas sangat menarik dan relevan untuk diteliti serta tidak menyimpang dari spesialisasi keilmuan peneliti pada Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam.

2. Tersedianya literatur-literatur pendukung sebagai referensi untuk dijadikan rujukan penelitian.

3. Kesediaan dan kesiapan peneliti dalam mengkaji Khittah Pesantren Perspektif KHR As’ad Syamsul Arifin secara teoritik dan konseptual.

4. Adanya kesediaan dosen pembimbing untuk memberikan arahan pemikiran dan motivasi dalam penyusunan skripsi.

5. Adanya manfaat bagi peneliti ataupun pihak lain.

D. Perumusan Masalah

Untuk merumuskan permasalahan tersebut, perlu adanya sistematika analitik untuk mencapai sasaran yang menjadi objek kajian, sehingga pembahasan akan lebih terarah pada pokok masalah. Hal ini dimaksudkan agar terhindar dari pokok masalah dengan pembahasan yang tidak ada relevansinya. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Fokus Masalah

“Bagaimana Khittah Pesantren Perspektif K.H.R. As’ad Syamsul Arifin

1. Sub Fokus Masalah

1. Bagaimana Konsep Khittah Pesantren Perspektif K.H.R. As’ad Syamsul Arifin?

2. Bagaimanakah Upaya K.H.R. As’ad Syamsul Arifin dalam Merealisasikan Khittah Pesantren?

3. Bagaimana Relevansi Konsep Pesantren K.H.R. As’ad Syamsul Arifin dengan Kondisi Pesantren Saat Ini?

4. Bagaimanakah Urgensi Khittah Pesantren dalam Melakukan Transformasi Sosial Masyarakat?

E. Tujuan Penelitian

Secara substansial tujuan dari penelitian adalah menyelesaiakan masalah-masalah yang telah dirumuskan sebelumnya (STAIN, 2002: 10). Maka dari perumusan itulah akan terdapat sesuatu yang menjadi rumusan dari hasil sebuah penelitian. Secara umum, karena objek penelitian adalah tentang pemikiran K.H R. As’ad Syamsul Arifin tentang khittah pesantren, maka yang menjadi tujuan adalah untuk mengetahui dan memahami gagasan tersebut, sehingga menghasilkan diskripsi dari berbagai rumusan masalah yang diangkat.

Dalam hal ini tujuan penelitian akan diarahkan pada ke-sinkronan antara tujuan dengan upaya pemecahan problematika yang telah dirumuskan. Yang dimaksudkan untuk menghindari penyimpangan dalam menciptakan problem solving yang telah disistematiskan dengan tujuan penelitian (STAIN, 2002: 10), maka tujuan penelitian kami dimaksudkan sebagai berikut:

a. Tujuan Umum

Untuk mengetahui dan mendiskripsikan konsep khittah pesantren perspektif konstruksi pemikiran K.H.R. As’ad Syamsul Arifin

b. Tujuan Khusus

1. Untuk mendiskripsikan konsep khittah pesantren perspektif K.H.R. As’ad Syamsul Arifin

2. Untuk mendiskripsikan upaya K.H.R. As’ad Syamsul Arifin dalam merealisasikan khittah pesantren

3. Untuk mendiskripsikan relevansi konsep pesantren K.H.R. As’ad Syamsul Arifin dengan kondisi pesantren saat ini

4. Untuk mendiskripsikan urgensi khittah pesantren dalam melakukan transformasi sosial masyarakat

F. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat baik kepada peneliti, pihak STAIN Jember, pengelola pesantren, dan masyarakat pada umumnya. Adapun manfaat penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagi Peneliti

1. Untuk menambah wawasan tentang konsep khittah pesantren dalam prespektif K.H R As’ad Syamsul Arifin.

2. Untuk mengembangkan pengetahuan tentang pendidikan Islam khususnya pesantren

3. Sebagai modal dasar untuk melakukan penelitian dibidang pesantren pada tataran lebih lanjut

2. Bagi Lembaga STAIN Jember

1. Untuk menambah kepustakaan Tarbiyah

2. Sebagai tolak ukur interdisipliner keilmuan dan kualitas mahasiswa dalam bidang pendidikan.

3. Bagi Pengelola Pesantren

1. Menjadi bahan pijakan dan landasan dalam merumuskan format pesantren yang peka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun tetap tidak meninggalkan prinsip-prinsip salafiyah.

2. Mengkaji dan memahami pemikiran KHR As’ad Syamsul Arifin khususnya dalam masalah khittah pesantren.

3. Menjadi bahan konsep untuk melakukan perbandingan antara konsep pesantren saat ini dengan tawaran konsep pesantren dalam perspektif K.H.R. As’ad Syamsul Arifin

4. Bagi Masyarakat

1. Untuk memberikan kontribusi pemikiran bagi masyarakat tentang pentingnya menjaga nilai-nilai salafiyah pesantren.

2. Membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya khittah pesantren.

3. Untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang urgensi pesantren dalam melakukan transformasi sosial

7. Kerangka Teoritik

1. Profil Pesantren

Sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, pesantren telah melalui berbagai peradaban hingga sampai pada zaman modern di abad 21 saat ini. Sebagai lembaga yang bergerak dalam hal keilmuan khususnya ilmu agama, pesantren telah menunjukkan eksistensinya sebagai lembaga yang tetap kokoh dalam berpegang teguh pada nilai-nilai keagamaan yang bersumber pada Al-Qur’an, Hadits, dan Qoul Ulama (yang terepresentasikan dalam kitab kuning). Oleh karena itu pesantren memiliki nilai-nilai yang tidak sama dengan lembaga pendidikan lainnya.

Untuk mendukung kelangsungan pesantren, berikut akan dijelaskan berbagai hal yang berhubungan dengan pesantren, terutama mengenai unsur-unsur, fungsi, prinsip-prinsip, dan ciri-ciri pesantren, sebagai berikut:

a. Unsur-Unsur Pesantren

Pondok, masjid, santri, kitab kuning, dan kiai merupakan lima dasar dari tradisi pesantren. Ini berarti bahwa suatu lembaga pendidikan keagamaan yang telah berkembang hingga memiliki kelima elemen tersebut, akan disebut sebagai pesantren. Yang pembahasannya sebagai berikut:

1. Pondok. Pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana para santri tinggal bersama dan belajar bersama dibawah asuhan kiai. Asrama tersebut biasanya berada dalam lingkungan kompleks pesantren.

2. Masjid. Merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dengan pesantren. Masjid juga dianggap sebagai tempat yang tepat untuk mendidik para santri dalam beribadah dan memperdalam ilmu agama.

3. Santri. Merupakan elemen penting dalam kelangsungan pesantren. Biasanya santri terbagi atas santri mukim (santri yang menetap di asrama pesantren) dan santri kalong (santri yang berasal dari desa di tempat pesantren berada, mereka tidak menetap di asrama).

4. Kitab Kuning/Kitab Klasik. Kitab-kitab yang diajarkan di pesantren tergolong kedalam: Nahwu dan Sharaf, Fiqh, Ushul Fiqh, Hadits, Tafsir, Tauhid, Tasawuf dan Etika, Tarikh dan juga Balaghah. Kitab kitab ini adalah materi pokok dalam kurikulum pesantren.

5. Kiai. Dalam kosa-kata Jawa, gelar kiai dipakai untuk tiga jenis yang berbeda. Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat, misalnya “Kiai Garuda Kencana”, sebutan kereta emas yang ada di keraton yogyakarta. Sebagai gelar kehormatan untuk orang tua pada umumnya. Umumnya gelar kiai dilekatkan pada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren, dan mengajar kitab-kitab klasik. Selain itu gelar kiai juga dipakai untuk sebutan orang yang alim (orang yang sangat luas pengetahuan keagamaannya). (Dhofier, 1994: 44-55)

b. Fungsi Pesantren

Azyumardi Azra (dalam Ridlo dan Sulthon, 2006: 13-14) menawarkan tiga fungsi pesantren, yaitu:

1. Transmisi dan transfer ilmu-ilmu Islam.

2. Pemeliharaan tradisi Islam

3. Reproduksi ulama’

Sebagai lembaga sosial pesantren telah menyelenggarakan pendidikan formal baik sekolah agama (madrasah) ataupun sekolah umum. Disamping itu, pesantren juga menyelenggarakan pendidikan non formal berupa madrasah diniyah yang mengajarkan materi keagamaan, selain itu pesantren juga mengadakan forum kajian keislaman yang terkonsentrasi pada kajian kitab kuning dengan berbagai disiplin ilmu agama yang telah disebutkan diatas.

Dalam pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan diatas, pesantren mampu menampilkan eksistensinya sebagai lembaga solidaritas sosial dengan menampung santri dari berbagai lapisan masyarakat muslim dan memberikan pelayanan yang sama kepada mereka, tanpa membedakan latar belakang ataupun tingkat sosial ekonomi mereka.

Disamping itu, kharisma seorang kiai pesantren juga mampu menjadi figur yang cukup efektif dalam perannya sebagai perekat hubungan dan pengayom masyarakat, baik pada tingkat lokal sampai nasional. Para kiai juga sering mengadakan majelis taklim yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat, baik yang diadakan atas inisiatif pesantren juga seringkali berasal dari inisiatif masyarakat.

Dengan berbagai peran potensial yang dimainkan pesantren, dapat dikemukakan bahwa pesantren memiliki tingkat integritas yang tinggi dengan masyarakat sekitarnya, sekaligus menjadi rujukan atas berbagai persoalan masyarakat. Fungsi-fungsi ini akan tetap terpelihara dan efektif manakala para kiai pesantren dapat menjaga independensinya dari berbagai intervensi di luar pesantren.

c. Prinsip-Prinsip Pesantren

Komunitas keagamaan pesantren dilandasi oleh keinginan ber-tafaqquh fiddin (mendalami/mengkaji agama) dengan kaidah:

المحفظة علي القديم الصالح والاخض بالجديدالاصلاح

Memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik”.

Keinginan dan kaidah ini merupakan nilai pokok yang melandasi kehidupan dunia pesantren. Eksistensi pesantren menjadi kokoh karena dijiwai oleh apa yang dikenal dengan panca jiwa pesantren (Tolkhah dan Barizi, 2004: 55-56), yaitu:

1. Keikhlasan. Yaitu, jiwa kepesantrenan yang tidak didorong oleh ambisi apapun untuk memperoleh keuntungan-keuntungan tertentu, khususnya secara material, melainkan semata-mata karena beribadah kepada Allah.

2. Kesederhanaan. Kata “sederhana” disini bukan berarti pasif, melarat, miskin, dan menerima apa adanya, tetapi mengandung unsur kekuatan dan ketabahan hati, kemampuan mengendalikan diri, dan kemampuan menguasai diri dalam setiap kesulitan. Dibalik jiwa kesederhanaan ini tersimpan jiwa yang besar, berani, maju, dan pantang menyerah dalam menghadapi dinamika sosial secara kompetitif.

3. Kemandirian. Kemandirian disini bukanlah kemampuan dalam mengurusi persoalan-persoalan internal pesantren, tetapi kesanggupan membentuk kondisi pesantren sebagai institusi pendidikan Islam yang merdeka dan tidak menggantungkan diri kepada bantuan dan pamrih dari pihak lain. Pesantren dibangun diatas pondasi kekuatan sendiri sehingga ia merdeka, otonom dan mandiri.

4. Bebas. Jiwa yang bebas ini mengandaikan civitas sebagai manusia yang kokoh dalam memilih jalan hidup dan masa depannya dengan jiwa besar dan sikap optimis menghadapi segala problematika kehidupan dengan nilai-nilai Islam. Kebebasan disini juga berarti sikap kemandirian yang tidak berkenan didekte oleh pihak luar dalam membangun orientasi sistem kepesantrenan dan kependidikan.

5. Ukhuwah Islamiyah. Merupakan manivestasi dalam keseharian civitas pesantren yang bersifat dialogis, penuh keakraban, penuh konpromi, dan toleransi. Jiwa ini memotori suasana damai, sejuk, senasib, saling membantu, dan saling menghargai bahkan saling memberi support dalam pembentukan dan pengembangan idealisme santri.

d. Ciri-Ciri Pesantren

Ciri-ciri pesantren yang masih berpegang teguh pada nilai-nilai salafiyah dapat di defininisikan sebagai berikut (Sulthon dan Ridlo, 2006: 12-13):

1. Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya. Kiai sangat memperhatikan santrinya. Hal ini memungkinkan karena tinggal dalam satu kompleks dan sering bertemu baik disaat belajar maupun dalam pergaulan sehari-hari. Bahkan sebagian santri diminta menjadi asisten kiai (Khadam).

2. Kepatuhan santri kepada kiai. Para santri menganggap bahwa menentang kiai, selain tidak sopan juga dilarang agama. Bahkan tidak memperoleh berkah karena durhaka kepada sang guru.

3. Hidup hemat dan sederhana benar-benar diwujudkan dalam lingkungan pesantren. Hidup mewah hampir tidak didapatkan disana.

4. Kemandirian amat terasa di pesantren. Para santri mencuci pakaian sendiri, membersihkan kamar tidurnya, bahkan sampai memasak sendiri.

5. Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan (Ukhuwwah Islamiyyah) sangat mewarnai pergaulan di pesantren. Ini disebabkan selain kehidupan yang mereta dikalangan santri, juga karena mereka harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang sama, seperti shalat berjamaah, membersihkan masjid, dan belajar bersama.

6. Disiplin sangat dianjurkan. Untuk menjaga kedisiplinan ini pesantren biasanya memberikan sanksi-sanksi edukatif.

7. Keprihatinan untuk mencapai tujuan mulia. Hal ini sebaai akibat kebiasaan puasa sunnah, dzikir, dan i’tikaf, shalat tahajjud, dan bentuk-bentuk riyadlah kainnya atau menauladani kiainya yang terbiasa dengan kehidupan zuhud.

8. Pemberian ijazah. Yaitu pencantuman nama dalam satu daftar mata rantai pengalihan pengetahuan yang diberikan kepada santri-santri yang berprestasi. Hal ini menandakan adanya restu kiai kepada santrinya untuk mengajarkan sebuah teks kitab yang dikuasai penuh.

e. Tujuan Pesantren

Tujuan pesantren sebagai berikut; Tujuan umum pesantren adalah membina warga negara agar berkepribadian muslim sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam, dan menanamkan rasa keagamaan tersebut pada semua segi kehidupan. Adapun tujuan khusus pesantren adalah sebagai berikut (Qomar, 2007: 6-7):

1. Mendidik santri untuk menjadi seorang muslim yang bertakwa kapada Allah SWT, berakhlaq mulia, memiliki kecerdasan, berketerampilan, serta sehat lahir dan batin.

2. Mendidik santri untuk menjadikan manusia muslim selaku kader-kader ulama’ dan muballigh yang berjiwa ikhlas, tabah, tangguh, wiraswasta dalam mengamalkan ajaran-ajaran Islam secara utuh dan dinamis.

3. Mendidik santri untuk memperoleh kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya dan bertanggungjawab kepada pembangunan bangsa dan negara.

4. Mendidik tenaga-tenaga penyuluh pembangunan mikro (keluarga) dan regional (masyarakat dan lingkungannya).

5. Mendidik santri agar menjadi tenaga-tenaga yang cakap dalam berbagai sektor pembangunan, khususnya pembangunan mental spiritual.

6. Mendidik santri untuk meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat dalam rangka usaha pembangunan bangsa.

Tujuan pendidikan pesantren adalah untuk menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, berakhlaq mulia, bermanfaat dan berkhidmat pada masyarakat,dengan cara menjadi abdi masyarakat. Sebagaimana yang telah dicontohkan Nabi Muhammad SAW.

Tujuan pendidikan pesantren juga diarahkan pada pengkaderan ulama’ yang mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam berkepribadian, menyebarkan agama, menegakkan kejayaan Islam dan umat ditengah-tengah masyarakat (Izzul Islam wa al-Muslimin), serta mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian manusia.Dari beberapa tujuan tersebut, dapat disimplkan bahwa tujuan pesantren adalah membentuk kepribadian muslim yang menguasai ajaran-ajaran Islam dan mengamalkannya, sehingga bermanfaat bagi agama, bangsa dan negara.

f. Fungsi Pesantren

Fungsi pesantren telah mengalami berbagai perkembangan. Visi, posisi, dan persepsinya terhadap dunia luar telah berubah. Pesantren pada pertamanya (masa wali songo) berfungsi sebagai pusat pendidikan dan penyiaran agama Islam. Kedua fungsi ini bergerak saling menunjang. Pendidikan dapat dijadikan bekal dalam memngumandangkan dakwah, sedangkan dakwah bisa dimanfaatkan sebagai sarana dalam membangun sistem pendidikan (Qomar, 2007: 22-26).

Dengan kata lain, sebenarnya fungsi edukatif pesantren pada masa wali songo adalah sekedar membawa misi dakwah. Misi dakwah Islamiyah inilah yang mengakibatkan terbangunnya sistem pendidikan. Pada masa wali songo muatan dakwah lebih dominan daripada muatan edukatif. Karena pada masa tersebut produk pesantren lebih diarahkan pada kaderisasi ulama’ dan muballigh yang militan dalam menyiarkan ajaran Islam.

Sebagai lembaga dakwah, pesantren berusaha mendekati masyarakat. Pesantren bekerja sama dengan masyarakat dalam mewujudkan pembangunan. Sejak awal, pesantren terlibat aktif dalam mobilisasi pembangunan sosial masyarakat. Warga pesantren telah terlatih melaksanakan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat, sehingga terjalin hubungan yang harmonis antara santri dan masyarakat, ataupun antara Kiai dan pemuka desa.

A. Wahid Zaini menegaskan, bahwa disamping lembaga pendidikan, pesantren juga sebagai lembaga pembinaan moral baik dikalangan santri maupun masyarakat. Kedudukan ini memberi isyarat bahwa penyelenggaraan keadilan sosial melalui pesantren lebih banyak menggunakan pendekatan kultural (A. Wahid Zaini, dalam Qomar, 2007: 23).

Pesantren juga berperan dalam berbagai bidang lainnya secara multidimensional, sebagai upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Hanya saja dalam kapasitas tradisionalnya, pesantren sering diidentifikasi memiliki tiga peran dalam masyarakat Indonesia; sebagai pusat berlangsungnya transmisi ilmu-ilmu Islam tradisional, sebagai penjaga dan pemelihara keberlangsungan Islam tradisional, dan sebagai pusat reproduksi ulama’. Namun dalam realitasnya, pesantren mampu menunjukkan dirinya yang betul-betul eksis dalam setiap problematika sosial mayarakat.

g. Sejarah dan Perkembangan Pesantren

Dilihat dari asal usulnya, ada dua pendapat mengenai asal usul pesantren. Pendapat Pertama mengatakan, bahwa pesantren berasal dari tradisi pra Islam. Sementara Pendapat Kedua mengatakan, bahwa pesantren adalah model pendidikan yang berasal dari tradisi Islam.

Pendapat A.H Johns dan C.C. Berg yang menganalisis dari segi semantik kebahasaan, dapat mewakili salah satu pendapat pertama. “istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, istilah tersebut berasal dari istilah sashtri yang dalam bahasa india berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Kata sashtri yang beasal kata sashtra yang berarti buklu-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Ini menunjukkan secara semantik pesantren lebih dekat ke tradisi pra Islam atau lebih tepatnya India (C.C. Berg, dalam Khozin, 2006: 96).

Mahmud Junus cenderung kepada pendapat yang kedua. Dia menyatakan bahwa asal-usul pendidikan yang dipergunakan dalam pesantren ternyata dapat ditemukan di Baghdad ketika menjadi pusat pemerintahan Islam. Tradisi menyerahkan tanah oleh negara bagi pendidikan agama, dapat ditemukan dalam sistem wakaf dalam Islam ( Muhammad Yunus, dalam Khozin, 2006: 98).

Sementara Tolkhah dan Barizi juga menyebutkan dua pendapat tentang munculnya pesantren. Pertama, pesantren ada sejak abad XVI M yang ditandai dengan adanya karya-karya Jawa klasik seperti Serat Cebolek, dan Serat Centini yang mengungkapkan bahwa sejak abad ke XVI M di Indonesia telah banyak dijumpai beberapa lembaga yang mengajarkan berbagai kitab Islam klasik dalam bidang fiqh, aqidah, tasawuf, dan menjadi pusat-pusat penyiaran Islam.

Pendapat kedua menyatakan, bahwa pesantren muncul sebagai ‘perdikan’ sistem pendidikan Hindu Budha pada abad ke XVIII M dan mengalami perkembangan secara independen pada abad ke XIX M, dan sejak abad ke XX M model pendidikan pesantren mulai dilakukan pembaruan diberbagai segi sebagai konsekuensi dari globalisasi dan bahkan dewasa ini pesantren mulai dilirik sebagai lembaga pendidikan alternatif bagi pembangunan bangsa kedepan. (Tolkhah dan Barizi, 2004: 52)

Istilah pesantren memang bukan berasal dari Arab tapi istilah pondok berasal dari Arab; yaitu funduk yang berarti pesanggrahan atau penginapan bagi orang yang bepergian. Agaknya terlalu simplistis kalau istilah yang bukan berasal dari Arab, lalu dikatakan bukan berasal dari Islam seperti pesantren ini.

Pesantren merupakan lembaga keagamaan yang sarat nilai dan tradisi luhur yang telah menjadi karateristik pesantren pada hampir perjalan sejarahnya secara potensial, karateristik tersebut memiliki peluang cukup besar untuk dijadikan dasar pijakan dalam menyikapi arus globalisasi dan persoalan-persoalan lainnya yang menghadang pesantren secara khusus, dan masyarakat luas secara umum.

Persoalan kian menjadi rumit ketika globalisasi telah menjadi realitas keseharian yang melekat dan harus dihadapi umat manusia, termasuk pesantren dan masyarakat di negeri ini. Terlepas dari mimipi-mimpi indah yang ditawarkannya, gobalisasi telah mampu menampilkan dirinya dalam bentuk kolonialisme berwajah baru.

Secara ekonomi, ia merujuk pada re-organisasi sarana-sarana produksi, penetrasi industri lintas negara, perluasan pasar uang, jajahan barang-barang konsumsi, bursa tenaga kerja, dan penggusuran pemukiman penduduk secara besar-besaran. (Francis Wahono, dalam Abd A’la, 2006:7)

Sedangkan secara politik dan ideologi, globalisasi berarti liberalisasi perdagangan dan investasi, privatisasi, yang merupakan adopsi sistem politik demokrasi dan otonomi daerah (otoda). Dengan kata lain, globalisasi adalah neo liberalisme yang membiarkan pasar bekerja secara bebas. (Wahono, 2003: 146-148 )

Pesantren dengan teologi yang dianutnya ditantang untuk meniyikapi globalisasi secara kritis dan bijak. Pesantren harus mampu mencari solusi yang benar-benar mencerahkan. Sehingga, pada satu sisi, dapat menumbuhkembangkan kaum santri yang memiliki wawasan luas yang tidak gamang menghadapi modernitas dan sekaligus tiddak kehilangan identitas dan menjadi dirinya. Dan pada sisi yang lain pesantren dapat mengantarkan masyarakat menjadi komunitas yang sadar akan persoalan yang dihadapi dan mampu mengatasinya dengan penuh kemandirian dan keadaban.

Dewasa ini, perkembangan kuantitas pesantren semakin pesat hal ini dibuktikan dengan data yang disampaikan Van Der Chys pada tahun 1831 saja, di beberapa kabupaten di pulau Jawa terdapat 1853 pesantren dengan jumlah santri 16.556. Kemudian pada tahun 1942 jumlah pesantren dan madrasah berjumlah 1871 dengan jumlah santri 139.415. Pesantren tumbuh berkembang seiring dengan kebutuhan masyarakat yang kompleks akan nilai-nilai agama (Van Der Chys, dalam Dhofier, 1994: 35).

Perkembangan kuantitas pesantren juga disertai dengan berbagai pembenahan untuk meningkatkan mutu kualitas pendidikannya. Berbagai sekolah-sekolah formal mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi didirikan. Hal ini dimaksudkan untuk merespon tuntutan zaman. Sehingga, berbagai pesantren malakukan kompetisi dalam menyediakan lembaga-lembaga pendidikan untuk merespon kebutuhan tersebut. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya lembaga-lembaga pendidikan pesantren yang memiliki perguruan tinggi dari tingkat diploma sampai dengan pasca sarjana.

Disatu sisi, perkembangan ini aka bernilai positif, karena kebutuhan santri terhadap lembaga pendidikan formal akan terpenuhi. Sementara disisi yang lain, identitas pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan dan mengembangkan ilmu-ilmu agama akan tenggelam. Hal ini disebabkan nilai-nilai pendidikan yang ditawarkan pesantren akan lebih terfokus pada lembaga-lembaga pendidikan formal yang ada, mengingat tuntutan kebutuhan pasar lebih cenderung pada legalitas formal yang disediakan oleh lembaga pendidikan formal secara umum.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam sejatinya harus menjadi sumber kearifan dan memiliki daya resistensi tinggi terhadap segala proses pemudaran nilai-nilai moral lambat laun mulai terperangkap kedalam kehidupan yang dehumanistik, yang berlawanan dengan sifat manusia yang fitri.

Eksistensi pendidikan pondok pesantren di era modern ini, harus berdasar pada tiga hal. Pertama, pesantren harus benar-banar menjadi pusat tafaqquh fiddin. Kedua, pesantren harus menjadi pusat lembaga pendidikan dan pengembangan IPTEK, dengan cara meningkatkan apresiasi dan SDM para santri terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi mutahir. Ketiga, pesantren harus menjadi pusat dakwah dan pengembangan masyarakat baik dalam konteks nasional maupun global. (Basyuni, 2007: 219)

Tidak sedikit kontribusi pesantren dalam pembangunan nation state selama ini. Pertama, pada masa penjajahan pesantren memainkan peran perlawanan dan mengambil strategi Uzlah sebagai strategi perlawanan dan sekaligus pertahanan dari penjajah. Kedua, pada masa persiapan kemerdekaan, pesantren berperan sebagai pusat perjuangan dan pertahanan gerilyawan seperti Hizbullah dan Sabilillah.

Pesantren di masa kolonial, tampaknya dalam konteks ini, pesantren lebih mempunyai peran dan fungsinya di masyarakat. Bahkan pesantren menjadi motor penggerak segala bentuk perubahan dan protes terhadap pemerintahan Hindia Belanda pada saat itu yang masih dan sedang berkuasa. Sebaliknya, perguruan tinggi pada masa-masa awal kolonial belumlah bisa dikatakan mempunyai sesuatu hal yang bisa dikatakan berarti ketika itu. Karena, memang ketika itu perguruan tinggi juga belum lahir.

Pada masa-masa kolonial tersebut, hegemoni pesantren dan pembelajaran ilmu-ilmu agama sangatlah besar dan menjadi salah satu kebanggaan umat muslim ketika itu. Karena dengan begitu, mereka akan bisa belajar langsung kepada tokoh-tokoh Islam terkemuka pada saat itu. Di mana tokoh-tokoh Islam pada saat itu merupakan pujangga-pujangga terkemuka di dunia Islam Nusantara, bahkan internasional. Jika kita melihat ke belakang sekitar abad ke-17-18 maka, kita akan melihat bagaimana peran seorang ulama seperti syekh Yusuf al-Maqassari, Abdurrauf Singkel, Syamsudin as-Sumaterani, Nuruddin ar-Raniri dan yang lainnya dalam memimpin umatnya dan memberikan pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam kepada umatnya. (Sonhaji, 2004: artikel pendidikan www. Google. com)

Lebih jauh ketika perkembangan tradisi keilmuan Islam mengalami dinamika yang cukup pesat. Apalagi dengan dibukanya terusan Suez pada abad ke-19 (1870) (Steenbrink, dalam Sonhaji, 2004: artikel pendidikan WWW. Google. Com). Maka, semakin banyaklah umat muslim Indonesia yang mondok dan mesantren tidak hanya ke seluruh pesantren-pesantren yang ada di Nusantara-walaupun pada saat itu belum ada istilah atau nama pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam---tapi lebih jauh lagi hingga ke Mekah dan Madinah. Tetapi, jika yang ada adalah lembaga pendidikan yang mengajarkan dan mengkaji ilmu-ilmu keislaman tentu saja sudah ada. Karena hal itu bisa terlihat dari banyaknya kiai atau ulama-ulama yang lahir ketika itu--Dan tentu saja pada abad ke-19, jumlah pesantren sudah tidak sedikit jumlahnya.

Lebih dari itu, pada abad ini pula para santri semakin bertambah banyak yang melanjutkan studi keislamannya di kota Mekah sekaligus sambil menjalankan ibadah haji. Apalagi pada saat itu di kota Mekah banyak sekali para santri yang berasal dari Nusantara telah menjadi ulama-ulama yang dikenal akan kapasitas keilmuannya bahkan kealimannya.

Keberadaan pesantren sebagai sebuah lembaga yang ikut berperan dalam mendidik dan mencerdaskan anak bangsa kurang mendapat apresiasi dari pemerintah. Terutama pada saat para pemegang kebijakan negara (dalam bidang pendidikan) menggunakan paradigma “developmentalis”. Paradigma ini adalah wujud dari buah modernisme dan kapitalisme. Karena itu pondok pesantren dianggap sebagai komunitas yang terbelakang, tidak modern, tradisional, hingga kemudian dikesampingkan.

Ketika orde baru berkuasa, dimunculkan kebijakan “modernisasi pesantren” yang berorientasi mengubah tradisionalitas dan ketertinggalan pesantren agar seirama dengan paradigma pembangunan negara. Dalam kenyataannya, selain memporakporandakan konstruksi fisik dan program pengembangan pesantren, proyek ini juga merusak relung-relung sistem pendidikannya. Tawaran yang disodorkan pada waktu itu adalah masuknya pendidikan sekolah dan madrasah dengan suatu jaminan fasilitas tertentu. ( Basyuni, 2007: 220)

Pondok pesantren sebagai sub-kultur, sejak itu menghadapi tantangan yang tidak bisa diremehkan. Otonomi pendidikan pondok pesantren yang dibanggaka dengan tradisi pesantren (salafisme) juga harus mengalami ujian yang sangat dilematis. Dialektika antara mempertahankan watak tradisionalisme dan modernisme sungguh dialami oleh banyak pondok pesantren.

Gejala yang tampak pada akhir-akhir ini menunjukkan bahwa masyarakat pesantren mulai terbiasa dengan sikap dan perilaku yang pragmatis dan formalistik. Nilai-nilai yang dulu dijunjung tinggi dalam dunia pesantren, seperti keikhlasan, semangat keilmuan yang tinggi, kesederhanaan, dan kearifan sosial, kini mulai menghilang dalam tataran praksis dari kehidupan masyarakat pesantren. Untuk itu kehadiran pesantren dengan semangat wali songo telah menjadi harapan ditengah gersangnya nilai salafiyah pesantren.

2. Tradisi Salafisme Pesantren

Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang memiliki keunikan tersendiri ditengah hiruk-pikuk problematika pendidikan di tanah air, pesantren tetap survive dengan semangat tradisiyang mengagumkan. Dikalangan umat Islam tradisional pesantren masih dianggap sebagai model pendidikan yang menjanjikan bagi perwujudan masyarakat yang beradab. Karena eksistensi pesantren merupakan wadah bagi “manifestasi tradisi agung” (istilah Martin Van Bruinessen), yang dalam bahasa pesantren dikenal dengan al-Akhlaq al-Karimah.

Aplikasi dari nilai al-Akhlaq al-Karimah tercermin dari perilaku santri sehari-hari berupa sikap tawadlu’, sederhana, yang disertai dengan prrinsip hidup mandiri. Hal ini bisa dilihat dalam pola hidup santri sehari-hari, mereka hidup ditengah kumpulan santri-santri lain dengan fasilitas yang sangat sederhana, mulai dari alas tidur yang hanya berupa tikar (bahkan terkadang tidak memakai alas), menu makanan seadanya, dan mengerjakan semua kebutuhan sehari-hari (mencuci, memasak, dan membersihkan lingkungan pesantren) secara mandiri.

Bagi seorang santri, masuk pesanten merupakan ritus perjalanan antara masa remaja dan masa dewasa, dimana mereka tidak hanya memperoleh pendidika Islam, tetapi juga mengembangkan kemandirian serta kematangan pribadi. Biasanya murid mulai masuk pesantren di awal usia belasan tahun, setelah mendapatkan pendidikan dasar keagamaan didesanya. (Fealy, 2007: 24)

Keberadaan pesantren kontras berbeda dengan praktek pendidikan pada intitusi pendidikan lainnya, sehingga dinamika sekaligus problematika yang muncul kemudian, juga menampilkan watak yang khas dan eksotik. Di era globalisasi sekarang ini, Alfin Toffler membayangkan akan terciptanya 'masyarakat informasi' (the informasional society) yang sulit untuk dihindari oleh negara manapun di permukaan bumi ini, termasuk Indonesia. Sehingga, fenomena globalisasi yang begitu cepat mengalami akselerasi dalam pelbagai aspek, sebagai konsekuensi logis dari penerapan high tech (tekhnologi tinggi), menyebabkan bangsa Indonesia tergiring pada pola interaksi yang amat cepat dan massif dengan negara-negara lain di dunia. Dalam fase masyarakat informasi inilah, pesantren semakin menghadapi tantangan yang tidak ringan dan lebih kompleks ketimbang periode waktu sebelumnya (el-Chumaedi, 2002: Artikel Pesantren www. Plasa. com).

Di tengah pergulatan masyarakat informasional, pesantren 'dipaksa' memasuki ruang kontestasi dengan institusi pendidikan lainnya, terlebih dengan sangat maraknya pendidikan berlabel luar negeri yang menambah semakin ketatnya persaingan mutu out put pendidikan. Kompetisi yang kian ketat itu, memosisikan institusi pesantren untuk mempertaruhkan kualitas out-put pendidikannya agar tetap unggul dan menjadi pilihan masyarakat, terutama umat Islam. Ini mengindikasikan, bahwa pesantren perlu banyak melakukan pembenahan internal dan inovasi baru agar tetap mampu meningkatkan mutu pendidikannya.

Persoalan ini tentu saja berkorelasi positif dengan konteks pengajaran di pesantren. Di mana, secara tidak langsung mengharuskan adanya pembaharuan (modernisasi) kalau boleh dikatakan demikian dalam berbagai aspek pendidikan di dunia pesantren. Sebut saja misalnya mengenai kurikulum, sarana-prasarana, tenaga kependidikan (pegawai administrasi), guru, manajemen (pengelolaan), sistem evaluasi dan aspek-aspek lainnya dalam penyelenggaraan pendidikan di pesantren.

Jika aspek-aspek pendidikan diatas tidak mendapatkan perhatian yang proporsional untuk segera dimodernisasi, atau minimalnya disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat (social needs and demand), tentu akan mengancam survival pesantren di masa depan. Masyarakat akan semakin tidak tertarik dan lambat laun akan meninggalkan pendidikan pesantren, kemudian lebih memilih institusi pendidikan yang lebih menjamin kualitas output-nya. Pada taraf ini, pesantren berhadap-hadapan dengan dilema antara tradisi dan modernitas.

Ketika pesantren tidak mau beranjak ke modernitas, dan hanya berkutat dan mempertahankan otentisitas tradisi pengajarannya yang khas tradisional, dengan pengajaran yang hanya bermuatan al-Qur'an dan al-Hadis serta kitab-kitab klasiknya tanpa adanya pembaharuan metodologis, maka selama itu pula pesantren harus siap ditinggalkan oleh masyarakat.

Pengajaran Islam tradisional dengan muatan-muatan yang telah disebutkan di atas, tentu saja harus lebih dikembangkan agar penguasaan materi keagamaan anak didik (baca: santri) bisa lebih maksimal, di samping juga perlu memasukkan materi-materi pengetahuan non-agama dalam proses pengajaran di pesantren.

Dengan begitu, pengembangan pesantren tidak saja dilakukan dengan cara memasukkan pengetahuan non-agama, melainkan agar lebih efektif dan signifikan, praktek pengajaran harus menerapkan metodologi yang lebih baru dan modern. Sebab, ketika didaktik-metodik yang diterapkan masih berkutat pada cara-cara lama yang ketinggalan zaman , maka selama itu pula pesantren sulit untuk berkompetisi dengan institusi pendidikan lainnya! Persoalannya, betulkah semua yang berwatak lama itu kurang baik

Terdapat beberapa kelemahan yang harus dibenahi dalam tradisi salaf antara lain ( Tolkhah dan Barizi: 2004: 83):

1. Kepemimpinan yang bersifat sentralistik dan hierarkis yang berpusat pada Kiai. Implikasi negatif yang akan muncul adalah ketika kepemimpininan pesantren mengedepankan otoritas sentral Kiai yang tidak lepas dari segala keterbatasan personal, diantaranya adalah ketidakmampuannya dalam merespon perkembangan masyarakat. Setidaknya, hall ini bisa dijelaskan ketika Kiai yang kebetulan tidak memiliki kemampuan untuk mengikuti dan menguasai perkembangan mutakhir lebih cenderung untuk menolak mengubah pesantrennya mengikuti tuntutan zaman.

2. Apek metodologi pembelajaran yang lebih menekankan kepada transmisi keilmuan klasik. Hal ini hanya akan melahirkan penumpukan keilmuan secara bulat dan tidak boleh dibantah, dimana santri menerima transmisi keilmuan klasik dari Kiai dalam bingkai taken for granted. Impilaksi dari model pembelajaran demikian adalah lesunya kreatifitas santri, karena sistem demikian lebih tepatnya disebut pengajian daripada pendidikan.

3. Dis-Orientasi pesantren yang kehilangan kemampuan untuk mendefinisikan dan memposisikan dirinya ditengah perubahan realitas sosial yang cukup cepat. Pesantren yang mengidentifikasi dirinya sebagai pesantren salaf akan mengalami kondisi dilematis ketika dihadapkan dengan perubahan sosial.

Dis-Orientasi keilmuan yang dikemas dengan salafiseme pesantren, hanya akan menyebabkan mandulnya liberalisasi pendidikan Islam sebagaimana semangat spiritualitas wahyu. Sejatinya, sistem pendidikan pesantren adalah pendidikan yang membebaskan dan mempropagandakan kebebasan. ﻻﺮﻫﺒﻨﻴﺖﻓﻲﺍﻻﺴﻼﻡ (tidak ada sistem kependetaan dalam Islam) merupakan spiritualitas liberal dalam menafsirkan makna-makna yang ada dalam wahyu Islam.

Sistem pembelajaran kitab-kitab klasik yang hanya berorientasi kepada fiqh-sufistik dengan membatasi diri pada madzhab-madzhab tertentu kiranya perlu direvisi. Pengajaran teologi yang hanya mengadopsi pemikiran madzhab Asy’ariyah dan Maturidiyah dengan kitab kajian yang tidak banyak memberikan gairah pemikiran perlu diperkaya dengan diskursus teologi-teologi kontemporer yang lebih kontekstual dan mempunyai relevansi riil terhadap kehidupan manusia.

Kajian teologi ini juga perlu disertai dengan pembelajaran ilmu logika (‘ilm al-manthiq) karena sifat dasar dari teologi sangat intelektualistik. Sebenarnya, dibeberapa pesantren hal ini sudah diajarkan, tetapi sifatnya lebih mekanis daripada strategi mendorong berkembangnya pemikiran rasional, karena ilmu logika diletakkan sebagai dasar pembangunan pemikiran rasional yang meisahkan pemikiran-pemikiran yang cacat dari yang benar, dan untuk menjelaskan bagaimana seharusnya pendahuluan itu disusun agar diperoleh hasil seperti yang diinginkan. Melalui ilmu logika, santri diharapkan mampu berfikir ilmiah dan rasional. Meskipun logika rasional dan ilmiah juga menyisakan banyak kekurangan dan berbagai keterbatasan yang selalu siap untuk direvisi sesuai perkembangan wawasan ilmu pengetahuan.

Dalam kontek fiqh, misalnya, pesantren salaf lebih menekankan kepada kitab-kitab karya ulama’ empat imam madzhab (Syafi’I, Maliki, Hanafi, Hambali) daripada kajian lintas madzhab dan aliran. Fath al-Qorib, Fath al-Mu’in, I’anah at-Thalibin, dan Kifayat al-Ahyar lebih akrab dipelajari santri daripada Bidayah al-Mujtahid karya Ibn Rusyd, Fiqh Ja’fari karya Imam Ja’far, Fiqh as-Sunnah karya Sayyid Sabiq, dan sebagainya.

Madzhab sunni merupakan madzhab satu-satunya yang harus dikaji, dan bahkan haram mempelajari fiqh Syi’ah. Sementara dalam bidang tasawuf, pemikiran al-Ghazali dan al-Junaid menjadi soko guru tasawuf akhlaqi yang mutlak untuk diteladani oleh para santri, dari pada Ibn Arabi, Ibn Sab’in, Al-Halllaj, Al-Busthami, Al-Sarraj, dan sebagainya, yang cenderung menekankan tasawuf falsafi. (Tolkhah dan Barizi, 2004: 88-89)

Dengan demikian, santri dibelenggu dengan figur Kiai sebagai soko guru keilmuan dan rasionalitas pemahaman yang mutlak diadopsi. Sehingga, santri menjadi manusia yang dikekang oleh berbagai tradisi yang kurang positif, seperti:

1. Santri berpandangan bahwa ilmu adalah hal yang sudah mapan dan hanya diperoleh melalui barokah Kiai.

2. Pandangan tidak kritis yang menyatakan bahwa segala sesuatu yangdiajarkan Kiai, Ustadz, dan kitab-kitab klasik adalah kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan apalagi dikritisi.

3. Metode pembelajaran dengan hafalan dan pemikiran tradisional yang diterapkan untuk semua Ilmu.

4. Pandangan hidup fatalistik yang menyerahkan kehidupan kepada keadaan dan perilaku sakral dalam menghadapi berbagai realitas duniawi

Untuk meretas kebekuan tradisi pemikiran yang menimpa kalangan pesantren, maka alternatif yang yang bisa ditawarkan adalah membangun kembali formula rasionalisme, sebagaimana yang diinginkan dalam teologi tauhid Muhammad Abduh (w. 1905) (dalam, Tolkhah dan Barizi, 2004: 89) adalah salah satu jalan bagi formulasi rasionalisme ketauhidan ketika dia memisahkan yang esensial dari yang tidak esensial, mempertahankan aspek fundamental aspek fundamental dan meninggalkan aspek aksidental warisan sejarah. Abduh percaya bahwa al-Qur’an dan Hadits adalah sebagai petunjuk tuhan. Tetapi pemikiran adalah petunjuk utama (essntial) dalam hal-hal yang yang tidak tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits.

Dalam hal diatas, Islam harus diterjemahkan sesuai konteks yang dihadapinya. Petunjuk-petunjuk umum didalamnya menghendaki pendauran ulang pada setiap zaman. Karena itu, penerimaan secara mengikat terhadap otoritas masa lampau sebagai sebuah ketentuan syari’ah untuk segala zaman adalah “kekerdilan” Islam yang harus segera disingkirkan.

Sedangkan menurut Achmad el-Chumaedi, karakter salaf pesantren bisa dilihat dari sisi metodologi pengajaran (pendidikan) yang diterapkan dunia pesantren (baca: salafiyah). Penyebutan salaf dalam konteks praktek pengajaran di pesantren, didasarkan pada sistem pengajarannya yang monologis, bukannya dialogis-emansipatoris, yaitu sistem doktrinasi sang Kiyai kepada santrinya dan metodologi pengajarannya masih bersifat klasik, seperti sistem bandongan, pasaran, sorogan dan sejenisnya. Lepas dari persoalan itu, karakter tradisional yang melekat dalam dunia pesantren yang tidak selamanya buruk (2002: Artikel Pesantren www. Plasa. com).

Muhammad Maftuh Basyuni melihat sistem pengajaran yang banyak digunakan pesantren (sorogan dan bandongan), cenderung memberikan ruang yang terbatas baik bagi santri maupun ustadz untuk berimpovisasi dan mengoptimalkan daya nalar mereka. Peran dan potensi santri menjadi kurang berkembang, karena ustadz lebih dominan. Artinya perlu ada upaya yang memberikan peluang kepada santri untuk berkreasi dan mengebangkan potensi fikirnya. (2007: 244-245)

Artinya, salafisme dalam konteks didaktik-metodik yang telah lama diterapkan di pesantren, tidak perlu ditinggalkan begitu saja, hanya saja perlu disinergikan dengan modernitas. Hal ini dilakukan karena masyarakat secara praktis-pragmatis semakin membutuhkan adanya penguasaan sains dan tekhnologi. Oleh Karena itu, mensinergikan salafisme pesantren dengan modernitas dalam konteks praktek pengajaran, merupakan pilihan sejarah (historical choice) yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab, jika tidak demikian, eksistensi pesantren akan semakin sulit bertahan di tengah era informasi dan pentas globalisasi yang kian kompetitif

3. Reintegrasi Keilmuan Pesantren

Dalam pembahasan ini peneliti akan membahas tentang persoalan krusial yang menyebabkan munculnya dikotomisasi pengetahuan dalam dunia pesantren yang selanjutnya akan menyebabkan pola pengembangan pendidikan pesantren menjadi tertutup terhadap dunia keilmuan yang selama ini ini diyakini menurut pandangan mereka secara tekstual yang mengacu pada pemahaman-pemahaman para pendahulu yang terepresentasi dalam kitab-kitab klasik.

Secara umum dapat dirumuskan bahwa perkembangan pesantren kontemporer, adalah bentuk dari transformasi nilai-nilai salafiyah untuk melakukan reposisi terhadap realitas modern saat ini. Hal ini dikarenakan, tantangan dunia modern lebih menekankan pada beberapa aspek diatas (sekuler, pragmatis, dan kalkulatif). Sementara disisi yang lain, konsep salafiyah yang sangat menekankan nilai-nilai keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, dan Ukhuwah Islamiyah, jelas sangat bertentangan dengan nilai-nilai modern diatas. Sehingga, persoalan terbesar yang harus dibenahi pesantren saat ini adalah bagaimana mereka mampu menjembatani dua kesenjangan diatas.

Untuk menyikapi persoalan tersebut, selama ini telah dimunculkan berbagai tawaran konsep yang memungkinkan untuk mengkompromikan kesenjangan masalah diatas. Seperti gagasan tentang “Islamisasi Pengetahuan” yang muncul pada konferensi pertama tentang pendidikan muslim di Makkah pada tahun 1977.

Seperti yang disampaikan Muhaimin, gagasan islamisasi pengetahuan antara lain dikemukakan oleh Syed Naquib al-Attas dalam makalahnya yang berjudul “Preliminary Thoughts on the Nature Of Knowledge and The Definition and The Aims of Education”, dan Ismail Raji al-Faruqi dalam makalahnya “Islamicizing Social Science”.

Al-Attas menyatakan, bahwa tantangan terbesar secara diam-diam dihadapi oleh umat Islam pada zaman ini adalah tantangan pengetahuan, bukan dalam bentuk sebagai kebodohan, tetapi pengetahuan yang difahamkan dan disebarkan keseluruh dunia oleh peradaban Barat. Dan menurut al-Faruqi, bahwa sistem pendidikan Islam telah dicetak didalam sebuah karikatur barat, sehingga ia dipandang sebagai inti malaise atau penderitaan yang dialami umat. ( Muhaimin, 2004: 90).

Antara ilmu umum dan agama sebenarnya terdapat perbedaan yang cukup mendasar yang perlu dipertimbangkan sebelum melakukan upaya reintegrasi antar keduanya. Pertama, mind set dasarnya berbeda. Ilmu bersandar pada etos otonomi pemahaman, sementara agama sikap dasarnya bertumpu pada nilai-nilai keimanan dan kepasrahan pada kehendak otoritas tuhan. Sehingga, jika dalam dunia keilmuan ketidakpercayaan (sebelum dibuktikan) merupakan sebuah keniscayaan, maka dalam dunia keagamaan, kepercayaanlah menjadi keutamaan (Bambang Sugiharto, dalam, Bagir, Dkk, 2005: 41).

Kedua, ilmu relatif lebih terbuka terhadap pandangan-pandangan baru asalkan rasional dan ditunjang bukti faktual. Sedangkan agama sebaliknya, meski umumnya diyakini bahwa manusia wajib menggunakan akalnya untuk memahami wahyu, dalam kenyatannya agama cenderung bersifat defensif terhadap pemahaman-pemahaman baru, bahkan agak tabu dalam memperkarakan dirinya sendiri.

Ketiga, ranah utama wacana agama adalah ranah misteri terdalam kehidupan beserta makna-makna pengalaman, yang sesungguhnya diluar wilayah jangkauan ilmu-ilmu empirik.. Bahasa agama lebih berupa bahasa mitos, penuh metafora ataupun retorika. Sementara bahasa ilmu adalah bahasa faktual, lugas, dan literal.

Oleh karena itu pola integritas keilmuan pesantren (antara ilmu umum dan agama) perlu diangkat guna mencari titik temu diantara dua kutub yang dianggap saling berlawanan, yang pada akhirnya memunculkan asumsi bahwa cabang-cabang keilmuan diluar kitab klasik menjadi sesuatu yang naif untuk dikaji oleh seorang santri, hal ini jelas sangat bertentangan dengan pola pengembangan pendidikan pada masa Wali Songo yang sangat aktif dalam melakukan respon sosial, yang tentunya dengan mengawali dilakukannya kajian secara teoritik ataupun praksis.

Banyak sekali kasus kecurigaan ulama’ ortodoks terhadap sains rasional empiris. Ibrahim Musa (W. 1398) seorang ulama Andalusia terkemuka, berkesimpulan, bahwa rata-rata teolog ortodoks menganggap bahwa hanya ilmu-ilmu yang bermanfaat yang dibutuhkan atau berguna untuk praktik keagamaan (ibadah). Ilmu-ilmu lainnya tidak bernilai dan hanya menjauhkan orang islam dari jalan yang lurus. Ibn Thaimiyah menyatakan bahwa ‘Ilm hanya menunjuk pada pengetahuan yang berasal dari Nabi, dia menganggap bahwa yang lainnya tidak berguna atau bukan ilmu ealaupun mungkin ia disebut ilmu (Azyumardi Azra, dalam, Bagir, Dkk, 2005: 206).

Dalam gejolak aktivitas Islam Indonesia, antara kiai dan pemikir ke-Islaman jelas berada pada posisi jauh berbeda. Tepatnya, kiai adalah orisinilitas spesifik kultural bangsa Indonesia, sebagai pemuka masyarakat sekaligus figur religius yang berpegang teguh pada qaul mu'tabaroh (opini ulama mayoritas) dalam mengumandangkan ajaran agama kepada publik, orientasi utamanya adalah maksimalnya istiqomah (kontinuitas) amaliah ibadah. Kultural “karakteristiknya“, mayoritas kalau tidak disebut sebagaian, banyak "menelan mentah-mentah" opini ulama mutaqoddimin (ulama terdahulu) dan dianggap sebagai "teks suci" yang tidak bisa dikritik apalagi tidak difungsikan. pemfiguran kiai, eksis di tengah-tengah aneka ragam suku, kasta dan pergeseran budaya bangsa kita, walaupun telah banyak “pembajak“ kharisma kiai untuk melengkapi biodatanya, demi sebutir kepentingan individual atau maksimal golongannya saja.

Di sisi lain, status pemikir Islam, selama ini digunakan bagi mereka yang profesi utamanya mencari celah dan titik lemah agama. Bahkan sering dengan sengaja menyalahkan agama sebagai lahan kritik, untuk dijadikan proyek utama kajian, serta kurang memperhatikan orientasi amaliah diniyah (agama) dalam kehidupan sehar-hari.
Mereka, bisa saja pengetahuan ke-Islamannya apa-adanya, atau bahkan dari komunitas non-Muslim sekalipun, asalkan pola pikirnya berkembang, punya ide cemerlang dan perdebatan (agama) nya sensasional dan atau mampu mengundang reaksi. (2004: Artikel Pesantren www. Google. Com)

Telah banyak model yang diajukan untuk melakukan reintegrasi pengetahuan agama dan non agama diantaranya (Armahedi Mahzar, dalam, Bagir, Dkk, 2005: 95-98):

1. Model Monadik.

Model ini populer dikalangan fundamentalis, religius ataupun sekuler. Kalangan religius menyatakan agama adalah keseluruhan yang mengandung semua cabang kebudayaan. Sedangkan kalangan sekuler menganggap, agama sebagai salah satu cabang kebudayaan, sedangkan dalam fundamentalisme sekuler, kebudayaanlah yang merupakan ekspresi manusia dalam mewujudkan kehidupan yang berdasarkan sains sebagai satu-satunya kebenaran. Dengan model ini sangat sulit terjadi koeksistensi antara ilmu agama dan non agama, karena keduanya menegasikan eksistensi atau kebenaran yang lainnya.

Maka hubungan antara ilmu agama dan ilmu non agama merupakan konflik. Tampaknya, pola integrasi ini sulit untuk diaplikasikan dalam lembaga pendidikan terutama pesantren.

2. Model Diadik

Ada beberapa varian dalam model ini antara lain: Pertama, mengatakan, bahwa ilmu agama dan ilmu non agama adalah dua kebenaran yang setara. Ilmu non agama (sains) agama membicarakan fakta alamiah. Sedangkan agama membicarakan nilai-nilai ilahiah. Varian kedua, mengatakan pengetahuan umum dan pengetahuan agama adalah sebuah kesatuan yang takterpisahkan, seperti yang dikemukakan oleh Fritjof Capra, “Sains tak membutuhkan mistisisme, dan mistisisme tak membutuhkan sains. Akan tetapi, manusia membutuhkan keduanya”. Sedangkan varian ketiga, mengatakan antara pengetahuan umum dan pengetahuan agama terdapat kesamaan. Kesamaan itulah yang merupakan bahan bagi dialog antara pengetahuan umum dan agama.

3. Model Triadik

Dalam model triadik ada unsur ketiga dalam menjembatani ilmu umum dan ilmu agama. Jembatan itu adalah filsafat. Model ini diajukan oleh kaum tosofis sebagai perluasan dari kedua model sebelumnya dengan memasukkan filsafat sebagai komponen ketiga diantara ilmu umum dan agama.

4. Inovasi Pendidikan Pesantren

a. Konsep Inovasi Pendidikan Pesantren

Inovasi pendidikan pesatren dapat diartikan sebagai inovasi pemecahan masalah pendidikan pesantre, atau dengan perkataan lain, inovasi pendidikan pesantren adalah suatu ide, barang, metode, yang dirasakan atau diamati sebagai hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) baik berupa hasil penemuan (invention), atau discovery yang digunakan untuk mencapai tujuan atau memecahkan masalah pendidikan pesantren . (Sulthon dan Ridlo, 2006: 136)

Pendidikan pesantren merupakan sistem pendidikan yang kompleks. Oleh karena itu inovasi didalamnya mencakup hal-hal yang berhubungan dengan subsistem pendidikan pesantren, termasuk kurikulum madrasah umum, madrasah diniyah, perguruan tinggi atau komponen pendidikan yang lain. inovasi pesantren bisa berupa (Miles, dalam Sulthon dan Ridlo, 2006: 137):

1. Bidang Personalia. Pendidikan yang merupakan bagian dari sistem sosial tentu menentukan personel sebagai komponen sistem. Inovasi yang sesuai dengan komponen personal misalnya adalah; peningkatan mutu guru, sistem kenaikan pangkat, dan sebagainya.

2. Fasilitas Fisik. Inovasi pendidikan sesuai dengan komponen ini misalnya, perubahan bentuk tempat duduk (satu anak satu kursi dan satu meja), perubahan pengaturan dinding ruangan (dinding batas antar ruangan dibuat yang mudah dibuka sehingga pada saat yang diperlukan dua ruangan dapat disatukan), perlengkapan peralatan laboratorium bahasa, CCTV, dan sebagainya.

3. Pengaturan waktu. Suatu sistem pendidikan tentu memiliki perencanaan pengaturan waktu. Inovasi yang relevan dengan komponen ini misalnya, pengaturan waktu belajar (semester), perubahan jadual pelajaran yang dapat memberi kesempatan siswa/mahasiswa untuk memilih waktu sesuai dengan keperluannya.

Penerimaan terhadap inovasi pendidikan pesantren menumbuhkan proses yang panjang, sebab pada hakikatnya penerapan inovasi tersebut merupakan pemberian tingkah laku yang ditampakkan oleh individu mulai dari pemahaman pengetahuan tentang pembaharuan, persiapan, pengembangan pengetahuan hingga menjadi rutin, sampai pada tingkat penghalusan dan usaha untuk memperbaharui hal-hal yang berkaitan dengan pembaharuan yang dilakukan. Agar para guru/ustadz dan santri dapat memahami hal-hal yang diperbaharui. Maka, menjadi suatu kewajiban para pengasuh pesantren untuk mengkomunikasikan hal-hal baru kepada mereka melalui majlis-majlis yang relevan dengan budaya pesantren.

b. Agenda Inovasi Pesantren

Dengan mempertimbangkan karakteristik pesantren, dapat dikemukakan beberapa isu yang patut dilakukan inovasi dalam rangka peningkatan mutu pendidikan pesantren. Isu-isu tersebut meliputi (Sulthon dan Ridlo, 2006: 142):

1. Kurikulum. Untuk memenuhi tuntutan kebutuhan santri dan masyarakat, perlu dilakukan pembaruan kurikulum pada tiga aspek penting, yaitu: perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Perencanaan kurikulum pesantren harus didahului dengan kegiatan kajian kebutuhan (need assesment) secara akurat agar pendidikan pesantren fungsional. Kajian kebutuhan tersebut perlu dikaitkan dengan tuntutan era global, utamanya pendidikan yang berbasis kecakapan hidup (live skills) yang akrab dengan lingkungan kehidupan santri. Pelaksanaan kurikulumnya menggunakan pendekatan kecakapan majemuk (multiple intelegence) dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning). Sedangkan evaluasinya menerapkan penilaian menyeluruh terhadap semua kompetensi santri (authentic asessment).

2. Manajemen Sarana Prasarana Pendidikan. Untuk mendukung pelaksanaan kurikulum, pesantren hendaknya mengupayakan tersedianya sumber belajar, media pendidikan , dan pengajaran yang berbasis teknologi. Misalnya, penggunaan literatur-literatur digital dalam berbagai cabang ilmu agama dan umum. Perlu diketahui, saat ini banyak kitab-kitab hadits dan tafsir yang mu’tabar atau kitab kuning serta ilmu-ilmu umum telah di-CD-kan, sehingga memudahkan para ustadz, dan santri untuk mempelajarinya.

3. Membangun jaringan kerjasama baik dengan pesantren maupun dengan lembaga lain yang terkai. Misalnya, jaringan kerjasama untuk mengembangkan live skill di lingkungan pesantren dengan sekolah menengah kejuruan atau politeknik; pengembangan koperasi pesantren bekerja sama dengan dunia industri, dan sebagainya.

5. Pesantren dan Trasformasi Sosial

Pesantren sebagai lembaga pendidikan agama tentunya lebih dekat dengan nilai-nilai Islam sebagai sumber konsepsi dan motivasi pembangunan yang mengakar dimasyarakat. Pesantren sebagai lembaga yang mempunyai “revolting rate”, artinya, lulusan pesantren mempunyai dorongan untuk mendirikan pesantren didaerahnya sendiri. Pesantren termasuk lembaga yang mempunyai sustainable( berkelanjutan dari generasi ke generasi) yang tinggi. Dengan kata lain, dapat disebut pesantren adalah sebuah jaringan besar “the big network” ( Rofiq, dkk, 2005: 13).

Dalam realitas hubungan sosial, pesantren senantiasa menjadi kekuatan yang amat penting yaitu sebagai pilar sosial yang berbasis nilai keagamaan. Nilai keagamaan ini menjadi basis kedekatan pesantren dengan masyarakat. Hubungan kedekatan masyarakat dibangun melalui kerekatan hubungan psikologis dan ideologis.

7. Metode Dan Prosedur Penelitian

Di dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif. Hal ini merupakan salah satu jenis metode yang menitik beratkan pada penalaran yang berdasarkan realitas sosial secara objektif dan melalui paradigma fenomenologis, artinya metode ini digunakan atas tiga pertimbangan:

2. Untuk mempermudah pemahaman realitas ganda

3. Menyajikan secara hakiki antara peneliti dan realitas

4. Metode ini lebih peka dan menyesuaikan diri pada bentuk nilai yang dihadapi. (Moleong, 2001:5)

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah liberary research (kajian pustaka), yaitu jenis penelitian yang menjadikan data-data kepustakaan sebagai teori untuk dikaji dan di telaah dalam memperoleh hipotesa dan konsep untuk mendapatkan hasil yang objektif. Dengan jenis ini informasi dapat diambil secara lengkap untuk menentukan tindakan ilmiah dalam penelitian sebagai instrumen penelitian memenuhi standar penunjang penelitian (Subagyo, 1999: 109).

Peneliti dalam jenis penelitian ini mengambil asumsi-asumsi yang di dasarkan pada data-data yang mendukung untuk memperoleh wawasan kreatif dan imajinatif. Hal ini sebagai bentuk komparasi terhadap satu konsepsi pemikiran dengan yang lain secara produktif dengan tidak meninggalkan dasar ilmiah.

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu jenis pendekatan penelitian yang tidak menggunakan angka (Moleong, 2001: 2), atau diistilahkan dengan penelitian ilmiah yang menekankan pada karakter alamiah sumber data. Sedangkan menurut Bagdan dan Taylor dalam buku panduan STAIN “pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati” (2002:19)

Metode kualitatif digunakan berdasarkan pertimbangan apabila terdapat realitas ganda lebih memudahkan penelitian dan dengan metode ini penajaman pengaruh dan pola nilai lebih peka disesuaikannya. Sehingga objek penelitian dapat dinilai secara empirik melalui pemahaman intelektual dan argumentasi logis untuk memunculkan konsepsi yang realistis (Moleong, 2001: 5). Berbeda dengan penelitian kuantitatif yang bekerja berdasarkan pada perhitungan prosentasi, rata-rata dan perhitungan statistik lainnya.

3. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang bersifat tekstual berupa konsep dan tulisan. Aspek-aspek yang akan diteliti adalah seputar apa dan bagaimana definisi, konsep, persepsi, pemikiran dan argumentasi yang terdapat di dalam literatur yang relevan dengan pembahasan. Oleh karena itu, data yang akan diambil dan dikaji berasal dari data verbal yang abstrak kualitatif. Sedangkan data yang digunakan antara lain :

1. Data Primer

Sumber data primer, ialah sumber data yang diperoleh melalui pengamatan dan analisa terhadap literatur-literatur pokok yang dipilih untuk dikaji kembali kesesuaiannya antara teks dengan realitas berdasarkan berbagai macam tinjauan ilmiah.

2. Data Sekunder

Sumber data sekunder, ialah sumber data yang di peroleh dari sumber-sumber bacaan yang mendukung sumber primer yang di anggap relevan, hal tersebut sebagai penyempurnaan bahan penelitian terhadap bahasan dan pemahaman peneliti

4. Metode Analisis Data

Analisa data secara umum di lakukan dengan cara menghubungkan apa yang di peroleh dari suatu proses kerja awal. hal ini di tujukan untuk memahami data yang terkumpul dari sumber, yang kemudian untuk di ketahui kerangka berfikir peneliti ( Bisri, 2004: 228).

Adapun metode analisis data yang di gunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Analisis Reflektif

Metode analisa data yang berpedoman pada cara berfikir reflektif. Pada dasarnya metode ini adalah kombinasi yang kuat antara berfikir deduktif dan induktif atau dengan mendialogkan data teoritik dan data empirik secara bolak balik kritis ( STAIN, 2002: 16).

Dalam metode analisa ini peneliti akan memecahkan masalah dengan pengumpulan data-data dan informasi untuk di bandingkan kekurangan dan kelebihan dari setiap literatur atau alternatif tersebut. sehingga pada penyimpulan akan di peroleh data yang rasional dan ilmiah.

2. Content Analisis

Content analisis atau di sebut dengan analisis isi adalah suatu metode untuk memahami wacana atau problem dengan mencari inti dari wacana tersebut ( Musyarofah, 2002: 15). Maka berkenaan dengan pengolahan dan analisis data, content analisis di artikan pula dengan analisis data deskriptif berdasarkan isinya ( Suryabrata, 1998: 85).

Peneliti dalam metode ini akan menganalisa data berdasarkan fenomena yang terjadi dalam pendidikan pondok pesantren.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, As’ad Syamsul, 2000, Percik-Percik Pemikiran Kiai Salaf-Wejangan Dari Balik Mimbar, Situbondo: Bp2m P.P Salafiyah Syafiiyah

A’la, Abd, 2006, Pembaharuan Pesantren, Yogyakarta: Pustaka Pesantren

Basri, Hasan, 1994, K.H.R. As’ad Syamsul Arifin Riwayat Hidup dan Perjuangannya, Semarang: CV. Toha putra

Bruinessen, Martin Van, 1999, NU-Tradisi-Relasi Kuasa-Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LKIS

Dhofier, Zamakhsyari, 1994, Tradisi Pesantren-Studi Tentang Pandangan Hidup

Kiai, Jakarta: LP3ES

Faely, Greg, 2007, Ijtihad Politik Ulama’-Sejarah Nu 1952-1967, Yogyakarta: LKIS

Hamidi, 2005, Metode Peneliatian Kualitatatif: Malang: UMM Press,

Hasan, Syamsul A, 2003, Kharisma Kiai As’ad di Mata Umat, Yogyakarta, LKIS

KH, U Maman, Dkk, 2006, Metodologi Penelitian Agama, Jakarta: PT. Rajawali Press

Khozin, 2006, Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia-Rekonstruksi Sejarah Untuk Aksi, Malang: UMM Press

Moleong, J lexiy, 2007, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya

Muhaimin, 2004, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Partanto, Pius A, dan Barry, M Dahlan, 1994, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola

Sulton, M dan Khusnurridlo, M, 2006, Manajemen Pesantren Dalam Perspektif Global, Yogyakarta: Laksbang Press

Tolkhah, Imam, dan Barizi, Ahmad, 2004, Membuka Jendela Pendidikan-Mengurai Akar Tradisi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Yunus, Firdaus M, 2005, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial-Paulo Freire dan Y.B. Mangunwijaya, Yogyakarta: Logung Pustaka

Tags: skiripsi

Leer el capítulo siguiente

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel